Jumat, 11 Februari 2011

Menelisik Kadar Ketauhidan Kita

Oleh:Nanang Hasan Susanto


Maining and carrying out of real correct Tauhid will bring at religious understanding  which inklusif  and pluralis, because believing that all phenomenon live is basically come and stem from Which Is One, What Is Single, The Adi Kodrati, Adi Luhung, or borrow Ianguage  Plato “ Absolute Reality”. Everything exist in this nature is believed by as radiation from existence of the absolute reality (theory of emanasinya ibnu al-arabi). Because that confidence, hence bertauhid truly will make someone esteem difference, and assume that truth which believing of only truth relative, while truism of only God property ***

Berbicara tentang nilai-nilai ajaran  Islam, esensi mendasar dari semua yang menjadi alasan diutusnya Nabi Muhammad dan diturunkannya Al-qur’an ke muka bumi, semuanya berpangkal pada Tauhid. Yakni, pengakuan secara sadar bahwa tidak ada sesuatupun yang boleh dan wajib disembah, kecuali Allah SWT. Sang pemilik, penguasa sekaligus pemelihara jagat raya. Makna Tauhid ini kalau direnungi, dimaknai dan diterjemahkan secara luas dan benar akan membawa pada kemajuan Bangsa, sekaligus membawa umat manusia untuk menemukan fitrah dan jati dirinya, sehingga akan membawa  pada kebahagiaan sejati di dunia dan akherat.
          Makna tauhid bila diterjemahkan secara luas, salah satunya adalah sebuah tekad dan keyakinan kuat, yang tidak hanya menafikan/meniadakan sesembahan apapun (baik berbentuk patung, manusia, api, matahari, atau jenis makhluk lainnya). Tapi lebih dari itu, dalam kehidupan sehari-hari dia tidak akan tunduk, takluk, terlena dengan segala apapun berupa kemewahan dunia atau lainnya. Karenanya, kecintaan terhadap harta, kekuasaan dan wanita hanya sekedarnya saja, bahkan dibungkus dalam kerangka mengharapkan ridlo Allah SWT.     
          Ketika seseorang sangat berambisi terhadap dunia (misalnya jabatan), dan dia sangat tergantung dengan ambisinya tersebut, yakni membuat dia stress ketika tidak mendapatkannya, atau mengungkapkan kebahagiaan yang tidak terkendali seperti berpesta pora  ketika mendapatkannya, maka berarti dia belum bertauhid dengan benar. Hal ini dikarenakan ada sesuatu (jabatan) yang membuat dia tergantung selain Allah, meskipun jabatan itu bukanlah sesembahannya secara formal, dan secara resmi sebenarnya dia mengaku beragama Islam, bahkan rajin melakukan ibadah.
          Dalam hal ini sangat menarik untuk kita cermati, bahwa lambang dosa tertinggi adalah “musyrik”. Dalam konteks ini, musyrik kiranya dapat diterjemahkan sebagai sikap men-dua atau lebih-kan Tuhan terhadap apapun. Sehingga, kecintaan seseorang yang berlebihan kepada apapun sampai dia melupakan Tuhan dengan indikasi lupa diri, lupa akan fitrahnya, “mabuk” dan larut dengan sesuatu yang dicintainya itu, maka berarti dia telah melakukan dosa musyrik, minimal musyrik dalam tingkatan yang sederhana.
          Dan yang lebih menarik lagi adalah, bahwa sesuatu yang dilarang Tuhan (baca: dosa) itu, pada hakekatnya pasti mengandung sesuatu yang merugikan dan menyengsarakan kita. Logika ini bisa ditarik dari asumsi bahwa, pada dasarnya Tuhan tidak membutuhkan apapun terhadap makhluknya. Sehingga, perintah ataupun larangan Tuhan, merupakan bentuk kasih sayang Tuhan dengan mengharapkan kebaikan terhadap hamba-Nya untuk mendapat kebahagiaan. Dalam hal ini, musyrik sebagai larangan keras Tuhan berarti dapat dipahami sebagai sesuatu yang sangat berbahaya dan tingkat penghancuran terhadap jati diri yang bermuara pada kesengsaraan manusia sangat tinggi.
          Logika ini bisa diteruskan, bahwa orang yang hidupnya tergantung kepada selain Tuhan (baca: musyrik), maka hal demikian itu merupakan lambang kesengsaraan terbesar. Lebih jelasnya, mari kita identifikasi indikasi-indikasi kesengsaraan tersebut. Indikasinya terutama terlihat dari hilangnya kebebasan dan kemerdekaan pada diri manusia. Ini mengakibatkan peran manusia sebagai khalifah Allah                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            -- yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lainnya, bahkan “mungkin” menjadi alasan kenapa malaikat dan jin disuruh sujud kepada Nabi Adam -- jadi tereduksi. Seseorang yang kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya tentu tidak akan maksimal dalam mengeksplorasi segala potensi yang dimilikinya. Dia jadi meragukan dirinya sendiri, bahwa di dalam dirinya sebetulnya menyimpan potensi yang luar biasa. Sederhananya, dengan kepercayaan Tuhan yang begitu tinggi kepada manusia, hingga menjadikannya sebagai khalifah (pemimpin atau wakil-Nya di bumi), melalui musyrik dikhianati justru oleh manusianya sendiri, dengan menempatkannya pada posisi yang sangat rendah, bahkan jauh lebih rendah dari sesuatu (makhluk) yang dia sembah. Atau dengan kata lain, posisi yang jauh lebih rendah dari posisi mulia yang sudah disiapkan Tuhan.
          Disamping itu, sikap hanya menjadikan Allah sebagai tempat kita bergantung, tunduk dan pasrah akan membawa pada kesehatan jiwa, sekaligus anak tangga pertama bagi kemajuan bangsa. Karena sikap ini tidak akan melahirkan generasi ABS (Asal Bapak Senang), tidak membuat laporan-laporan yang baik hanya ketika dipantau atasannya, sehingga dia pamrih kepada atasannya tersebut (bukan pamrih kepada Allah, padahal atasannya tersebut hanyalah makhluk Allah). Akan tetapi, ketika seseorang bertauhid dengan benar, hal itu akan mendorongnya untuk bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, karena hal itu diyakininya sebagai ibadah dan hanya mengharap ridlo Allah SWT.  
          Makna tauhid secara luas dan benar juga akan menciptakan kondisi hati yang tenang, tenteram dan damai. Disatu sisi dia dituntut untuk bekerja keras dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki sesuai dengan kiprahnya masing-masing, namun disisi lain dia pasrahkan (tawakkal) hasil kerja kerasnya tersebut kepada Allah, sebagai penentu akhir segalanya. Hal ini disadarinya dengan sunggug-sungguh, karena dia memahami tugas mendasar diciptakannya manusia ke muka bumi ini, yakni sebagai hamba dan “khalifah Allah” di bumi. (lihat Q.S. Al-Baqarah: 30)
          Disamping itu, pemaknaan dan penghayatan Tauhid yang benar akan membawa pada paham keagamaan yang inklusif (baca: terbuka) dan pluralis (baca: menghargai perbedaan), karena meyakini bahwa segala fenomena hidup ini pada dasarnya berasal dan bersumber dari Yang Satu, Yang Esa, Sang Adi Kodrati, Adi Luhung, atau meminjam bahasanya Plato “Realitas Absolut”. Segala sesuatu yang ada di alam ini diyakini sebagai pancaran dari keberadaan realitas absolut tersebut (teori emanasinya ibnu al-arabi). Karena keyakinan itu, maka bertauhid dengan benar akan membuat seseorang menghargai perbedaan, dan menganggap bahwa kebenaran yang diyakininya hanyalah kebenaran relative, sedangkan kebenaran mutlak hanya milik Tuhan.  
Inilah kiranya pentingnya penghayatan terhadap makna Tauhid, sebagai substansi mendasar atau ruh ajaran Islam. Sebuah penghayatan dan pemaknaan, yang kalau dijalani dengan benar, akan membawa pada kebaikan, kemuliaan, dan kebahagiaan sejati manusia itu sendiri di dunia dan akherat. Dan kalau menjadi gerakan komunal, pada konteks sosial akan melahirkan bangsa yang besar, kuat, mandiri dan tangguh…
Wallahu ‘Alam bi As-Showab   
         























Tidak ada komentar:

Posting Komentar