Senin, 07 Februari 2011

Pendidikan Sebagai Praksis Pembebasan

Oleh Setyo Hajar Dewantoro

                                                                                                     


Looking into from global eyeglasses, we also can find how education so far have been positioned by as peripheral which is looked into effective to overspread the certain ideology and draw up society in a state of can live as according to the ideology demand. Likely we both of the same comprehending, that interracial map these days show the existence of conquest symptom by party of developed countries to nations expand – what often is also referred by a Third World nations. this Conquest Symptom, theoretically can be explained by theory of hegemony and theory neokolonialisasi.
                                               ***


Tatkala pendidikan justru menghantar sekian banyak orang malah menjadi bisu dan tak peka terhadap persoalan kemanusiaan. Tatkala kian bertambahnya jumlah cerdik cendekia tak sejalan dengan membaiknyanya kenyataan sosial. Hanya ada satu pernyataan yang bisa diungkapkan: Kita butuh perubahan radikal!


Pendidikan dan Perubahan Sosial
Pendidikan, di kawasan manapun, tampaknya tak bisa dilepaskan dari arah perubahan sosial dan perkembangan ekonomi politik. Pendidikan, sukar untuk disangkal, merupakan sebuah tindakan politik. George S. Count misalnya mengungkapkan kecenderungan pemahaman di Amerika Serikat bahwa dalam masyarakat yang dinamis – seperti di negeri tersebut – tanggung jawab pokok pendidikan adalah menyiapkan individu agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Dengan kata lain, pendidikan mesti dikondisikan sebagai pabrikan yang mampu menghasilkan individu-individu yang siap memenuhi tuntutan situasi-situasi baru, baik dalam hal pengetahuan, sistem nilai, gaya hidup maupun keterampilan.

Memandang dari kacamata global, kita juga bisa menemukan betapa pendidikan sejauh ini telah diposisikan sebagai perangkat yang dipandang efektif untuk menyebarluaskan ideologi tertentu dan mempersiapkan masyarakat di sebuah negara agar bisa hidup sesuai dengan tuntutan ideologi tersebut. Agaknya kita sama-sama memahami, bahwa peta hubungan antar bangsa dewasa ini menunjukkan adanya gejala-gejala penaklukan oleh pihak negara maju kepada negara-negara berkembang – yang sering juga disebut negara-negara Dunia Ketiga. Gejala-gejala penaklukan ini, secara teoritis bisa dijelaskan melalui teori hegemoni dan teori neokolonialisasi.

Merujuk pada teori hegemoni yang dikedepankan Antonio Gramsci misalnya, kita bisa melihat bahwa pihak penguasa tak lagi cukup jika hanya menggunakan kekuatan politik. Agar yang dikuasai mematuhi pihak yang berkuasa, maka mereka harus merasa mempunyai nilai-nilai serta norma pihak penguasa. Perangkat paling efektif yang bisa digunakan untuk memindahkan nilai-nilai serta norma pihak penguasa kepada yang dikuasai, tentu saja adalah pendidikan. Pada tataran internasional, proses hegemoni pihak negara maju kepada negara-negara berkembang ini kemudian terkait erat dengan proses neokolonialisasi. Proses neokolonialisasi adalah proses penguatan kontrol sosial politik terhadap negara Dunia Ketiga dengan tujuan mengeruk sumber daya di kawasan tersebut, yang tak lagi menggunakan kekuatan fisik, melainkan melalui penyebaran ideologi yang membuat negara-negara Dunia Ketiga selalu merujuk dan bergantung kepada negara-negara maju. Demikianlah, konsep kapitalisme dan neoliberalisme beserta turunannya disebarkan sedemikian rupa oleh negara-negara maju yang berkuasa kepada negara-negara Dunia Ketiga melalui jalur akademis dan intelektual, melalui lorong pendidikan dan sekolahan.

Kita kemudian bisa melihat dengan jelas, di Indonesia misalnya, betapa pendidikan memang diarahkan untuk memodernisasi bangsa Indonesia: membuat bangsa Indonesia menguasai pengetahuan-pengetahuan modern, meyakini sistem nilai modern, menganut gaya hidup modern dan menguasai keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan kehidupan modern. Dalam bahasa yang lebih teknis, dunia pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menciptakan individu-individu yang bisa menyesuaikan diri dengan kebijakan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan proses industrialisasi. Begitu yang kita tangkap dari model sekolah yang dibangun, kurikulum yang dikembangkan, juga buku-buku teks yang disebarkan dan harus dibaca oleh para siswa dan mahasiswa. Demikian juga jika kita menyimak tujuan utama dan impian kebanyakan anak sekolahan dan mahasiswa: mendapat ijazah sarjana dan kemudian bisa diterima di perusahaan bonafid yang menyediakan gaji besar, yang membuat mereka bisa menikmati nyamannya bermobil mewah, berkomunikasi via telepon seluler, serta menikmati sederet hiburan dunia modern. Nuansa seperti ini tampaknya juga bisa dilihat dari slogan bahwa lulusan sekolah dan perguruan tinggi mesti memenuhi tuntutan dunia kerja (baca: dunia industri). Atau bahkan – dan tragisnya, pada proses industrialisasi dan komersialisasi dunia pendidikan yang kini semakin merebak.

Selanjutnya, meninjau pada kepentingan penguasa lokal untuk meneguhkan kekuasaannya, kita juga bisa menyaksikan bagaimana kemudian pendidikan modern ini bersanding dengan model pendidikan indoktriner; sebuah model pendidikan satu arah dimana para siswa bahkan mahasiswa dijejali berjuta pesan pihak penguasa. Tujuannya jelas, agar mereka tak banyak mempertanyakan arah dan pilihan perubahan sosial yang diambil pihak penguasa, dan lebih lanjut, juga tidak mempersoalkan kekuasaan yang sekian lama digenggam dan diselewengkan pihak penguasa.

Kukuhnya jalinan kepentingan antara kekuatan kapitalis global dan penguasa lokal inilah yang menjadi dasar penilaian banyak pihak, bahwa pendidikan di Indonesia memang ditundukkan demi sesuatu di luar hakikat pendidikan itu sendiri. Alih-alih berupaya menciptakan manusia yang mengenal hakikat kemanusiaannya, memahami kekuatan nalar dan akal sehatnya, serta menghayati nilai-nilai etika berdasarkan tradisi dan kebudayaan sendiri yang secara kreatif kemudian didialogkan dengan kearifan dari kebudayaan luar, pendidikan kita justru seolah berlomba sekadar menghasilkan “mesin-mesin produksi” yang bisa diserap oleh sekian perusahaan industri. Dan tentu saja, sebagai “mesin”, mereka seolah tak lagi punya kuasa untuk bertanya soal keabsahan sistem mapan yang melingkungi mereka.

Erich Fromm, dengan bagus menggambarkan bagaimana kepentingan sistem ekonomi global yang mapan dengan kukuhnya menundukkan dan mengendalikan pendidikan di berbagai negara:

“Sistem ekonomi kita menciptakan manusia-manusia yang sesuai dengan kebutuhan sistem-sistem itu, yang akan mau bekerjasama tanpa syarat, yang ingin mengkonsumsi lebih banyak lagi barang dan jasa. Sistem kita menciptakan manusia-manusia yang citarasanya seragam, seleranya distandarisasikan, yang gampang dipengaruhi, yang kebutuhan-kebutuhannya dapat diantisipasi. Sistem kita membutuhkan manusia-manusia yang merasa bebas dan mandiri, tapi sebenarnya mau menjalankan apapun yang diharapkan oleh sistem, manusia-manusia yang cocok dengan mesin sosial tanpa menimbulkan gesekan, yang dapat dituntun tanpa harus dipaksa, yang dapat digiring tanpa mesti ada pemimpin, yang dapat diarahkan tanpa sasaran apapun kecuali ‘menghasilkan yang baik’. Otoritas bukannya lenyap, otoritas tidak kehilangan daya, tapi ia ditransformasikan dari kewenangan terbuka yang memaksa menjadi otoritas tanpa nama yang membujuk dan memberi sugesti. Dengan kata lain, supaya bisa sesuai dengan lingkungan, manusia modern diwajibkan memupuk khayal bahwa segala sesuatu berlangsung sesuai dengan persetujuan dia, dan tak akan dijalankan jika ia tidak setuju; meskipun sebenarnya persetujuan itu didapatkan lewat manipulasi yang halus tersamar. Persetujuannya diperoleh di belakang punggungnya, atau di belakang kesadarannya.”

Atau sebagaimana yang diungkapkan Ira Shor:

“Siswa biasanya dilatih untuk menjadi pekerja atau profesional yang akan menyerahkan masalah politik kepada para pembuat kebijakan di atas. Sesungguhnya, kurikulum yang seolah netral ini yang menjadikan siswa menerima sesuatu tanpa menimbang-nimbangnya, memandang dunia dari konsensus resmi, menjalankan perintah tanpa banyak bertanya, dan menganggap masyarakat apa adanya dan sudah berjalan baik. Pembelajaran yang diberikan hanyalah menitikberatkan pada penguasaan teknik dan bukan untuk mendorong melakukan kontak dengan realitas secara kritis.”

Membaca lebih jauh, model pendidikan seperti ini juga dapat dilihat dalam proses penyebaran paham keagamaan dan bangunan budaya yang dominan dan dipandang mapan. Melalui berbagai lembaga pendidikan di masyarakat, dibangun semacam pandangan umum bahwa paham keagamaan yang sah dan berhak hidup di masyarakat adalah “mazhab x”. Sementara di luar itu adalah paham keagamaan yang salah, sesat dan menyesatkan. Peserta belajar tinggal memilih, menerima pandangan ini atau kemudian menolak dan mesti bersiap menanggung resiko dianggap menyalahi kesepakatan sosial. Tak ada ruang bagi pertanyaan, karena kebenaran telah dianggap final.

Demikian pula misalnya, bangunan budaya patriarkis yang menempatkan perempuan pada posisi terpinggirkan baik di rumah tangga (ruang privat) maupun di masyarakat (ruang publik), di sebarkan melalui pendidikan satu arah yang tak memberi tempat bagi pertanyaan dan kekritisan. Sebab peminggiran dan penomorduaan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang telah benar dengan sendirinya, bahkan diyakini sebagai “ajaran Ilahi” yang tak mungkin salah. Dan orang pun tinggal memilih, untuk menerima hal ini, atau menolaknya dengan segenap resiko yang mesti ditanggung.

Menyimak seperti di ataslah kenyataan dan rancangan besar pendidikan kita, kiranya menjadi cukup bisa dimaklumi jika persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan terus menggelembung di negeri kita. Kebanyakan kita memang tak dididik untuk peka dan kritis terhadap persoalan. Juga tak dilatih untuk memecahkan persoalan-persoalan itu. Pada wilayah sosial politik, kita acapkali diajari, bahwa semua persoalan itu bukan urusan kita. Sebab urusan kita adalah bagaimana kita tahu dan terampil melakukan suatu pekerjaan tertentu, yang sangat khusus – tetapi itu dibutuhkan “dunia kerja dan pembangunan nasional”. Hal seperti itulah yang akan mengantar kita mendapat imbalan uang memadai, sebagai bekal mempertahankan diri, atau lebih dari itu, menggapai kesejahteraan. Sementara pada wilayah agama, kita seringkali diminta meyakini bahwa kita adalah sekumpulan massa awam yang tak punya wewenang menafsirkan agama. Tugas kita adalah menerima bangunan tafsir yang disodorkan para “pemuka agama” – sekelompok orang yang memang telah dipilih Tuhan untuk membimbing masyarakat. Kemudian mengamalkan semua tafsiran itu tanpa banyak bertanya, agar “kita bisa masuk surga”.

Begitulah, di negeri ini pendidikan memang ditempatkan sebagai perangkat penting untuk menciptakan perubahan sosial dan membumikan sebuah pandangan politik. Tapi perubahan sosial dan pandangan politik itu tampaknya tak mesti berarti dunia ataupun kehidupan sosial yang lebih baik dan manusiawi bagi semua orang. Sebaliknya, bagi banyak orang, itu bermakna sebuah peminggiran, penindasan, juga penurunan derajat kemanusiaan. Dalam bahasa lain, pendidikan ternyata telah ditempatkan sekadar sebagai alat untuk menggandakan sistem dominan yang menguntungkan segelintir pihak yang tengah berada di puncak kekuasaan.

Menindas Melalui Pendidikan
Berbicara tentang kaitan antara pendidikan dan situasi penindasan, agaknya kita mesti berpaling pada Paulo Freire, pemikir pendidikan Brazil yang terkenal dengan bukunya Pedagogy of The Oppressed . Ia tampaknya telah cukup jelas menggambarkan bagaimana sebuah sistem pendidikan dikembangkan sebagai alat untuk menindas dan melanggengkan penindasan. Mari kita telusuri.

Pertama, Freire dalam berbagai tulisan dan pandangannya, dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah tindakan dan proses politik. Para guru, sadar atau tidak merupakan bagian dari tindakan dan proses politik ini. Terlepas dari ke mana arah dan muaranya, para guru senantiasa membawa agenda politik yang disodorkan oleh sistem di mana mereka bekerja. Freire misalnya menyebutkan sistem kapitalis sebagai bingkai bagi agenda dan kerja politik para guru. Lagi-lagi, perlu ditegaskan, terlepas dari apakah para guru itu menyetujui atau tidak, juga apakah mereka menyadarinya atau tidak.

Kedua, Freire – berangkat dari anggapan dasar pendidikan sebagai sebuah tindakan politik – menyatakan bahwa pendidikan seringkali merupakan alat untuk menyebarkan dan menggandakan sistem kapitalis yang dominan. Pendidikan mengarahkan para peserta belajar untuk menerima sistem kapitalis ini dan memenuhi segala tuntutannya. Dalam bahasa lain, pendidikan memang diarahkan untuk menciptakan sekelompok masyarakat yang bisa memenuhi kepentingan kelompok pemilik modal, para kapitalis.

Ketiga, agar proses penggandaan dan penyebaran sistem dominan ini bisa berjalan, perlu dipilih sistem produksi dan penyampaian pengetahuan yang mendukung. Di dalam setiap proses pendidikan, selalu terdapat unsur pendauran pengetahuan. Daur pengetahuan ini, terdiri dari dua saat yang terhubung secara dialektis. Pertama, adalah saat ketika pengetahuan atau sesuatu yang baru diciptakan. Kedua, saat ketika pengetahuan atau sesuatu yang baru diciptakan tersebut diketahui. Sebuah sistem pendidikan yang berkecenderungan memapankan sistem dominan sekaligus melanggengkan penindasan, akan memilah tegas dua proses pendauran pengetahuan ini. Pihak guru, ditempatkan sebagai satu-satunya pihak yang sah untuk menciptakan pengetahuan. Sementara pihak murid, tugasnya hanyalah mengetahui pengetahuan yang diciptakan dan kemudian diajarkan sang guru tersebut. Mereka tak punyak hak untuk ikut serta dalam proses menciptakan pengetahuan. Maka, karena pada hakikatnya sebuah sistem pendidikan merupakan mata rantai hubungan antara guru-murid atau pencipta pengetahuan-penerima pengetahuan yang bertingkat-tingkat, bisa dilihat jika apa yang kemudian diketahui dan diterima oleh seorang murid di kelas adalah apa yang diciptakan dan disebarkan oleh “guru pertama”, yaitu pihak penguasa yang menciptakan dan mengendalikan ideologi sekaligus sistem pendidikan. Sementara guru di kelas pada hakikatnya adalah sekadar perantara, bukan pencipta pengetahuan yang sesungguhnya. Sebab toh pengetahuan tersebut pada kenyataannya sudah ada pada teks resmi yang tak boleh disampaikan secara berbeda.

Keempat, selaras dengan model penyebaran ilmu pengetahuan seperti ini, dikembangkan pula keyakinan bahwa mereka yang pintar adalah para guru karena di tangan merekalah pengetahuan itu berada. Sementara para murid adalah sekumpulan orang bodoh yang tugasnya adalah secara pasif menanti dicurahi pengetahuan oleh sang guru. Mirip dengan botol kosong yang mesti menunggu diisi air supaya berisi. Konsep ini selanjutnya mewujud dalam model pendidikan satu arah, yang anti dialog, anti kekritisisan, dan menjauhi sebisa mungkin pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari pakem. Guru berbicara, dan tugas para murid adalah diam mendengarkan. Jikapun kemudian bertanya, pertanyaan itu mesti menunjukkan bahwa ia adalah sosok bodoh yang mesti diterangkan berkali-kali supaya bisa mengerti. Ajuan pertanyaan yang berpeluang membongkar kebenaran versi sang guru, bisa dipandang bagian dari tindak pembangkangan. Maka kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan budaya bisu, budaya diam.

Lebih lanjut, Freire mengaitkan kenyataan di dalam kelas ini dengan kenyataan sosial yang lebih luas. Kenyataan sosial yang diwarnai dengan penindasan – yang selalu berunsurkan kelompok penindas dan kelompok tertindas – merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan satu arah, anti-dialogis, anti-kritis, ataupun apa yang oleh Freire disebut dengan “pendidikan gaya bank”. Demikian pula sebaliknya.

Freire membaca kenyataan sosial di Brazil – sebuah negeri yang dalam penelitian Peter L. Berger dikategorikan sebagai korban percobaan kapitalisme yang gagal di Dunia Ketiga. Di negeri itu, bertumpuk-tumpuk kelompok petani miskin yang buta huruf di bawah tekanan dan genggaman para tuan tanah yang kaya raya dan pandai. Para petani ini – dalam bacaan Freire – ditindas dan didominasi oleh para tuan tanah. Dan pendidikan merupakan salah satu alat untuk mengukuhkan keadaan seperti ini.

Pihak penindas yang menguasai sistem pendidikan, mengupayakan perubahan kesadaran di kalangan pihak tertindas, tetapi situasi yang menindas itu sendiri dibiarkan tetap berlangsung. Pihak tertindas diarahkan agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi, agar bisa lebih mudah untuk didominasi. Pihak penindas mengembangkan konsep pendidikan gaya bank, yang menempatkan pihak tertindas sekedar penerima bangunan pengetahuan dari pihak penindas. Dalam bingkai ini, maka kelompok tertindaspun coba diyakinkan bahwa kasus kemiskinan, keterpinggiran dan ketertindasan mereka adalah kasus individual, sebab mereka menyimpang dari tatanan umum masyarakat yang “baik, terorganisasi dan adil”. Pihak tertindas senantiasa dinilai sebagai “penyakit masyarakat”. Jika mereka ingin mengentaskan diri dari situasi ini, maka mereka mesti menyesuaikan diri dengan menyingkirkan “ketidakmampuan bersaing dan kemalasan” mereka.

Demikianlah, pihak tertindas tidak pernah diberi kesempatan untuk berpikir kritis, bahwa sejatinya keterpinggiran, kemiskinan dan ketertindasan mereka juga terkait dengan situasi dan struktur masyarakat yang tidak adil. Bahwa sekalipun mereka tidak malas, mereka tetap tertindas karena dikondisikan sedemikian rupa oleh sistem untuk selalu menjadi pihak yang kalah. Menjadi jelas, jika lewat pendidikan pihak tertindas selalu digiring untuk meyakini diri mereka sebagai pihak yang bersalah, maka perubahan menuju pembebasan tak akan pernah terwujud. Yang maksimal terjadi, satu dua orang kalangan petani naik pangkat menjadi mandor atau tuan tanah sekaligus membaik kesejahteraannya, tapi pada saat bersamaan mereka juga berubah menjadi pihak penindas.


Pendidikan yang Membebaskan
Sebagaimana pendidikan bisa diperalat untuk menciptakan masyarakat berkebudayaan bisu, apatis dan tak peka terhadap kenyataan sosial, sekaligus untuk melanggengkan penindasan, ia juga bisa diandalkan untuk melakukan perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik, untuk menyingkirkan ketidakadilan dan penindasan. Sekalipun tentunya – sebagaimana dinyatakan Paulo Freire – ia bukan dan tak bisa menjadi satu-satunya sarana. Pendidikan mesti dibarengi oleh perjuangan politik yang bermuara sama: pembebasan masyarakat.

Berbicara tentang pendidikan yang mengarah pada pembebasan masyarakat, kita bisa memperoleh bahan yang kaya dari renungan dan pemikiran Freire. Baik yang menyangkut konsep filosofis dasar, hingga pada tahap teknik atau metode pendidikan. Tetapi satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa dalam konsep Freire, terdapat satu konsep kunci yang menjadi bingkai dasar: transformasi (perubahan mendasar). Istilah ini sering diperhadapkan dengan istilah reformasi (pembaharuan). Reformasi lebih dekat dengan model perubahan sosial yang tidak terlalu mempertanyakan sistem dan struktur yang ada karena telah dianggap baik dan benar, merupakan faktor pemberian (Ilahi) dan karena itu tak perlu dipermasalahkan. Sementara transformasi justru sebaliknya. Ia mempertanyakan sistem dan struktur, karena menganggap akar masalah terletak di dalam sistem dan struktur tersebut. Dan perubahan mesti diarahkan pada sistem dan struktur tersebut. Sehingga kemudian, model Freire berbeda dengan model pembaruan sistem pendidikan lain semisal model pendidikan progressif dalam khazanah dunia pendidikan modern (semisal Accelerated Learning, Quantum Learning, dll). Ia tak hanya berhenti pada perbaikan metode dan teknik.

Dalam dialog panjangnya bersama Ira Shor, Freire mengungkapkan:

“ Pendidik yang membebaskan harus sangat sadar bahwa transformasi tidak sekadar mempertanyakan metode atau teknik. Apabila pendidikan yang membebaskan hanya sekadar mempertanyakan metode, maka masalahnya dapat diatasi dengan mengubah beberapa metodologi tradisional dengan beberapa hal modern saja. Akan tetapi, ini justru bukan masalahnya. Masalah utamanya adalah hubungan berbeda antara pengetahuan dan masyarakat.

Kekritisan yang ditawarkan pendidikan yang membebaskan secara empirik bukan kekritisan yang berakhir sebagai subsistem pendidikan. Sebaliknya, kekritisan di kelas yang membebaskan melintas jauh batas pendidikan dan menjadi kekritisan terhadap masyarakat.”

Lebih jelas, mari kita telusuri beberapa konsep dasar pendidikan membebaskan yang ditawarkan Freire.

[1] Filosofi Dasar: Memanusiakan Manusia

Menyikapi kenyataan bahwa dalam sudut pandang kelas penguasa pendidikan merupakan alat untuk menggandakan dan menyebarkan sistem dominan, Freire menegaskan bahwa bagi mereka yang memiliki impian politik membebaskan, pendidikan mesti diperankan sebaliknya. Pendidikan mesti menjadi sarana untuk melemahkan dan melemahkan penggandaan dan penyebaran ideologi dominan tersebut. Atau dengan kata lain, pendidikan kemudian mesti ditempatkan sebagai bagian dari proses transformasi sosial; sebuah proses perubahan mendasar pada masyarakat yang menyentuh aspek sistem sekaligus struktur. Dan kerja ini menjadi tugas para pendidik, para guru. Tentu saja bukan sembarang pendidik dan guru, melainkan mereka yang mengimpikan penemuan ulang, penciptaan ulang dan pembangunan ulang masyarakat.

Terkait dengan ini, maka para guru dan pendidik mesti berjuang menyesaki ruang-ruang sekolah dan kelembagaannya dengan semangat-semangat di atas sehingga terkuaklah kenyataan yang selama ini dicoba ditutup-tutupi oleh ideologi dominan lewat kurikulum dominan. Mereka memiliki tugas menumbuhkan dan membangun kekritisan pada peserta belajar, agar proses pemburaman realitas yang dilakukan oleh pihak penguasa dominan bisa dikikis. Sebagaimana dijelaskan Freire, penguasa dominan selama ini memang berkepentingan memburamkan kenyataan, agar massa tidak memiliki kesadaran kritis, agar massa tercegah dari “pembacaan kritis” atas kenyataan, dan tentu saja agar massa memiliki kesadaran palsu yang menempatkan pihak penguasa sebagai sosok yang tak pernah salah. Mencontohkan pemburaman kenyataan ini, Freire menyebutkan penjelasan bahwa penyebab pengangguran di Amerika Serikat adalah pekerja asing illegal yang masuk dari negara jauh. Padahal, sebab sebenarnya adalah bahwa kebijakan pengangguran memang mesti dipertahankan agar upah buruh menjadi tetap murah (sebab mereka berada pada posisi tawar yang lemah).

Menengok Indonesia, kita bisa menemukan model pemburaman kenyataan ini semisal pada penjelasan bahwa rakyat Indonesia menjadi miskin, disebabkan oleh keberadaan etnis Cina. Sehingga dengan begitu, tumbuh sentimen kuat terhadap etnis Cina yang dinilai membawa petaka pada penduduk pribumi. Padahal kenyataannya, masyarakat menjadi miskin karena ada kesalahan pengelolaan sumber daya, ada kekeliruan pembuatan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak, ada dana negara yang diselewengkan, ada kolusi antara penguasa dan pengusaha tertentu, dan seterusnya. Dan ini sama sekali tak terkait dengan persoalan etnis. Contoh lainnya adalah penjelasan mengapa hanya sedikit perempuan yang menduduki jabatan strategis di wilayah publik: karena sedikit sekali perempuan yang memiliki kemampuan dan kapasitas. Padahal kenyataannya, hal ini terjadi karena kebijakan penguasa dominan memang dibingkai budaya patriarkis yang menempatkan kaum pria selalu sebagai nomor satu. Sementara akses bagi kaum perempuan ditutup dengan berbagai cara, semisal dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang menyulitkan. Toh kita bisa melihat, betapa banyak kaum pria yang bodoh dan tidak kompeten menjadi pejabat publik, dengan menyingkirkan kaum perempuan yang secara obyektif lebih pandai dan kompeten.

Sampai di sini, agaknya kita bisa menemukan satu kata kunci pada model pendidikan membebaskan yang digagaskan Freire: Kritisisme. Dalam kata-kata Freire:

“Pendidikan yang membebaskan adalah wahana pendidikan demokratis, yakni pendidikan yang membuka, pendidikan yang menantang, suatu tindakan kritis terhadap upaya mengetahui, membaca realitas, memahami bagaimana masyarakat bekerja .....”

Terkait dengan gagasan kritisisme ini, penting bagi kita untuk memahami salah satu filosofi lanjutan yang diungkapkan Freire, bahwa “reading the words, membaca kata-kata” mesti selaras dengan “reading the world, membaca dunia”. Sejauh ini, di berbagai tempat, sistem pendidikan sering mendikotomikan atau memilah tegas kedua tindakan tersebut. Seringkali, semakin kita bersekolah dan menjadi terdidik, kita cenderung kian memisahkan antara kata yang kita baca dengan dunia yang kita tinggali. Dengan pemilahan ini, dunia bacaan dimaknai sebagai dunia persekolahan dan bergerak menjadi dunia tertutup, yang memisahkan kita dengan dunia di mana kita memetik pengalaman namun tidak “membaca” pengalaman tersebut. Dunia persekolahan tempat kita belajar membaca kata-kata, sangat kurang berhubungan dengan pengalaman nyata di luar sekolah. Para murid dibuat pandai untuk membaca “kata-kata sekolahan”. Tetapi mereka dibuat menjadi tergagap ketika dituntut untuk membaca “kata-kata kenyataan”, yaitu kata-kata yang menjelaskan dunia lain, dunia fakta, dunia tempat segala peristiwa kehidupan berlangsung, sebuah dunia yang penuh perjuangan, penuh diskriminasi dan krisis ekonomi. Ini adalah bagian dari penjejalan budaya bisu: bacaan di sekolah selalu membisu tentang dunia pengalaman, dan dunia pengalaman dibuat bisa, tanpa teks kritis atasnya.

Selanjutnya, cukup penting pula bagi kita untuk menelusuri kemana sebenarnya muara atau arah akhir gagasan pendidikan membebaskan yang diungkapkan Freire.

Freire memaknai situasi penindasan yang marak di berbagai belahan dunia, sebagai proses dehumanisasi, proses pengikisan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan. Lewat penindasan, manusia didorong menjauhi watak sejati dan hakikat kemanusiaannya. Tetapi yang menarik dari Freire adalah bahwa ia menisbatkan kata dehumanisasi ini baik kepada mereka yang tertindas maupun kepada mereka yang menindas. Keduanya sama-sama terdehumanisasi, menjadi kurang memanusia.

Dalam sebuah fenomena penindasan – yang lahir karena tatanan yang tidak adil – pihak penindas yang melahirkan kekerasan, mengalami dehumanisasi karena telah membelok dari cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Di sisi lain, pihak tertindas terdehumanisasi karena harkat dan martabat, kemuliaan, maupun kemerdekaan dan kebebasan yang semestinya menjadi citra dasar manusia, hilang terampas.

Untuk mengatasi situasi ini, maka dalam konsep Freire, kelompok tertindas mesti bangkit berjuang. Tetapi, dalam proses mengembalikan kemanusiaan yang telah terampas, kaum tertindas tidak dibenarkan untuk kemudian berubah menjadi kelas penindas ketika telah semakin kuat. Justru, mereka mesti mencoba memanusiakan baik diri mereka sendiri maupun kelompok yang selama ini menindas mereka.

Dalam bahasa Freire, “inilah tugas besar manusiawi dan historis bagi kaum tertindas: membebaskan diri sendiri dan membebaskan para penindas mereka.” Lebih lanjut ia mengatakan:

“ Kaum penindas yang menekan, mengeksploitasi, dan memperkosa dengan mengandalkan kekuasaan mereka, tak dapat menemukan daya untuk membebaskan kaum tertindas maupun diri mereka sendiri. Hanya kekuatan yang terangkat dari kelemahan kaum tertindaslah yang akan cukup perkasa untuk membebaskan keduanya.”

Menukik pada konsep pendidikan yang membebaskan, Freire menegaskan:

“ Bahwa pendidikan kaum tertindas adalah pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, dan bukan untuk, kaum tertindas dalam perjuangan yang tiada henti untuk meraih kembali kemanusiaan. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta sebab-musababnya sebagai obyek renungan kaum tertindas, dan dari situ mereka akan terlibat dalam perjuangan membebaskan diri sendiri. Dalam perjuangan ini, kaum tertindas akan terus menerus diperbaharui.”

Begitulah, dalam bahasa yang ringkas bisa dikatakan bahwa tujuan pendidikan membebaskan adalah memanusiakan manusia.

[2] Beberapa Metode Dasar

Sistem pendidikan yang diarahkan untuk sekadar menggandakan dan menyebarkan ideologi dominan, biasanya diwarnai model komunikasi satu arah. Yang terjadi adalah model pendidikan monologis, dengan guru sebagai subyek dan pusat, sementara murid adalah obyek dan pinggiran. Lebih dari itu, proses pendidikan acapkali dimaknai sebagai penjejalan fakta dan data, berdasarkan asumsi otak atau memori murid mirip dengan botol atau ember kosong yang perlu diisi. Kekritisan terhadap fakta dan data itu sendiri dikebelakangkan, karena akan bertentangan dengan kepentingan mengukuhkan dominasi sebuah cara pandang.

Berlawanan dengan itu, pendidikan membebaskan sebagaimana yang digagaskan Freire menempatkan proses pendidikan sebagai sebuah proses dialogis. Ada komunikasi dua arah di sana – bahkan multi arah. Peran subyek dimainkan baik oleh guru maupun murid. Guru dan murid sama-sama berperan sebagai pencipta pengetahuan dan pemberi informasi, sekaligus juga sebagai penerima pengetahuan dan tujuan informasi. Sasaran proses komunikasi antara guru dan murid dalam sebuah proses pendidikan membebaskan, bukanlah untuk memindahkan apa yang diketahui dan diyakini sang guru kepada para murid. Sebaliknya, yang dilakukan adalah secara bersama menyusun kepingan pengetahuan, keyakinan dan pengalaman yang dimiliki baik guru maupun setiap murid, agar bisa diperoleh sebuah gambaran besar yang lebih utuh. Gambaran besar yang lebih utuh itu adalah hasil sumbangan semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan, dan disajikan juga kepada semua orang yang terlibat tersebut.

Peran seorang guru, dengan demikian, lebih sebagai seorang fasilitator atau pengarah, yang bertanggung jawab mengarahkan dan memfasilitasi agar proses belajar bisa menghampiri tujuan-tujuan yang juga disusun dan disepakati bersama. Alih-alih memanipulasi murid agar menerima apa yang diketahui dan diyakininya, seorang guru yang membebaskan mesti menempatkan diri sebagai pemicu dan pembuka jalan agar para murid bisa berpikir kritis, menilai sebuah kenyataan berdasarkan pengalaman, nilai dan pengetahuan yang telah mereka ketahui, dan kemudian menyampaikan pandangan atau pendapat secara bertanggung jawab.

Berbicara lebih teknis, metode ceramah seringkali diandalkan para guru yang “belum memiliki kesadaran membebaskan”. Dalam model pendidikan membebaskan, justru metode ceramah ini perlu dikritisi. Karena ia berpotensi menimbulkan komunikasi pendidikan yang berjalan searah dan manipulatif. Freire misalnya, menawarkan ploblem-posing education, metode pendidikan hadap masalah.

Berangkat dari anggapan dasar bahwa manusia adalah makhluk berkesadaran, dan kesadaran yang mengisi benak manusia semestinya adalah kesadaran untuk memperbaiki kenyataan dunia, maka salah satu metode pendidikan yang efektif adalah ketika para murid dihadapkan pada sebuah masalah yang nyata dan diminta untuk memikirkan dan merenunginya secara kritis. Seorang guru mesti menjadikan tindakan ini sebagai titik berangkat untuk mengembangkan dialog dan membuka kesadaran-kesadaran kritis yang lebih lanjut.

Jika pada model pendidikan monologis (model pendidikan gaya bank) dipilah antara kegiatan memikirkan, menyampaikan dan menerima suatu pengetahuan, maka pada model pendidikan hadap masalah ketiga tindakan tersebut merupakan satu rangkaian yang tunggal dan saling berkaitan. Kegiatan memikirkan dan menyampaikan suatu pengetahuan bukanlah hak eksklusif seorang guru, sebagaimana menerima pengetahuan adalah kewajiban eksklusif seorang murid. Justru baik guru maupun murid mesti terlibat secara bersama-sama dalam keseluruhan proses tersebut. Hanya dengan cara seperti inilah, sebuah situasi yang membebaskan bisa diraih; sebuah situasi dimana setiap orang bebas menggunakan kemampuan berpikir kritisnya sekaligus bebas untuk menyelami kenyataan dengan sedalam-dalamnya. Dan dengan metode ini pula, tak ada lagi keterpisahan antara “membaca kata-kata” dan “membaca dunia”, karena keduanya dilakukan bersamaan dan saling mendukung.

Renungan Akhir
Situasi ketidakadilan dan ketertindasan, dominasi budaya dominan melalui pendidikan, budaya bisu, juga metode pendidikan monologis, agaknya bukan monopoli Amerika Latin di mana Freire banyak melakukan pembacaan. Ia juga merupakan wajah kita; sesuatu yang dengan mudah bisa kita temui dalam keseharian pendidikan kita.

Menimbang hal tersebut, apa yang digagaskan Paulo Freire memang menjadi sangat relevan, berkesesuaian dengan kebutuhan kita, dan karena itu menarik untuk dikaji lebih dalam. Tentu saja, tanpa melupakan inti gagasan Freire: kekritisan dan semangat untuk selalu memperbaharui. Sebab, betapapun selalu ada jarak antara idealita yang diangankan dalam sebuah konsep filosofis dengan kenyataan ketika idealita itu coba dibumikan. Ada banyak kasus yang menceritakan bahwa penerapan metode pendidikan membebaskan yang dialogis dan kritis, tak selamanya berjalan dengan baik. Terlebih di lingkungan yang telah terlampau dalam tenggelam dalam budaya monologis; budaya yang memandang kritisisme sebagai sejenis keganjilan bahkan kegilaan.

Tetapi, karena ada satu kebenaran yang agaknya juga sulit dibantah, yaitu bahwa pendidikan yang memberi ruang bagi setiap manusia untuk menggunakan akal sehat dan hati nuraninya, tanpa mesti ditakut-takuti dengan segala ancaman dan dogma, adalah lebih dekat pada fitrah kemanusiaan, maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak terus mencoba membumikan pendidikan membebaskan. Dengan upaya ini kita berharap, bergumpal bayangan kebudayaan dominan yang selama ini menghimpit dan menindas banyak orang, bisa kita kikis sedikit demi sedikit. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar