Minggu, 27 Februari 2011

Mushaf Al-Qur'an Babakan: Kado Istimewa Islam Lokal untuk Muslim se-Dunia

Oleh Dr. KH. Affandi Mochtar, MA.



Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI 
Pendiri Yayasan Amal Al-Biruni Babakan Ciwaringin Cirebon

***
Printing al-Qur`an is bid’ah which obliged to be realized. Goods have of course, printing office of al-Qu`ran not limited and monoton one illumination variant and one article style, even absah also printed assortedly illumination variant, ornamen type and wanted by according to culture andappetite properly.                                                                               
                                                                                                  ***
“Dzakara al-Syaykh al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’ ‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa al-syarâ`i’ idzâ khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibîn].

Sekilas Sejarah Kodifikasi al-Qur`an
Al-QUR`AN adalah kitab suci umat Muslim sedunia, Muslim Arab dan non-Arab (‘ajam). Keberadaannya merupakan penunjuk jalan (hud-an) umat Muslim dalam meraih keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan dunia-akhirat (al-sa’adah fî al-dârayn). Dan bahasa al-Qur`an yang masih gelobal telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad baik dengan ucapan verbal maupun dengan praktik aplikatif. Di samping, karakteristik bahasa al-Qur`an yang gelobal mengandung ambiguitas makna yang tanpa batas, yang diperbolehkan bagi umat Muslim yang kompeten menafsiri atau mentakwil sehingga menghasilkan reproduksi makna yang kaya.
Dari sejarahnya, saat Nabi Muhammad saw. mendapat wahyu Allah pada abad ke-7, al-Qur`an masih ditulis secara manual oleh para sekretaris pribadinya di pelapah Kurma, kulit, tulang-belulang, dan lempengan batu. Belum sempat dikumpulkan dan dikodifikasi sedemikian rupa. Di sisi lain, al-Qur`an terjaga secara rapih dan komprehensif di dalam dada-dada para sahabat yang hafal al-Qur`an. Para penghafal al-Qur`an dengan setia terus menjaga hafalannya dengan cara membaca, melafalkan dan men-deras-nya. Dan di kalangan para sahabat juga ada kelompok qurrâ` (para pembaca al-Qur`an).
Pasca Nabi Muhammad, umat Islam dipimpin oleh Abu Bakar al-Siddiq, seorang sahabat dekat Nabi, orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan laki-laki dewasa, mertua yang sayang kepada menantunya (Nabi), dan pernah mendapatkan amanah sebagai pengganti Nabi menjadi imam shalat jamaah. Pada masa kepemimpinannya, ada sebagian umat yang membelot, tidak mau membayar zakat dan mengadakan pelarangan secara massif kepada yang lainnya agar tidak membayar zakat. Dan gerakan ini dibendung oleh Abu Bakar. Pendekatan persuasif sudah dilakukan dan gagal. Akhirnya jalan keluar yang dilakukan adalah perang. Dalam peperangan inilah banyak menewaskan para sahabat yang hafal al-Qur`an yang ada di bawah bendera Abu Bakar. Dengan melihat fenomena itu, Umar bin al-Khatthab merasa resah dan khawatir jika terus-terusan perang, maka para penghafal al-Qur`an sedikit demi sedikit tewas tak tersisa dan al-Qur`an pun tak terselamatkan. Umar mengusulkan ke Abu Bakar dan para sahabat senior agar al-Qur`an dikumpulkan dan dikodifikasi (tadwîn) menjadi sebentuk kitab suci yang dapat dibaca. Meski pada awalnya ide Umar ini terjadi pro dan kontra, namun melihat kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam akhirnya ide itu disepakati untuk direalisasikan. Dan al-Qur`an yang dikodifikasi diberi nama al-Qur`an Abu Bakar al-Siddiq.
Meski al-Qur`an sudah dikodifikasi, para sahabat masih menghargai perbedaan-perbedaan kecil baik perbedaan bacaan atau tulisannya. Seperti al-Qur`an Ibn Mas’ud, dll., yang secara bacaan dan tulisan berbeda. Bacaan antarsuku Arab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lahjah. Dan perbedaan dihargai. Barangkali inilah embrio munculnya qirâ`ât (bacaan) al-Qur`an yang beragam yang sampai sekarang terdapat tujuh bacaan (qirâ`ât sab’ah) atau bahkan empat belas bacaan, yang diabadikan dalam kitab “Nazhm al-Syâthibîyyah”. Sedangkan perbedaan rasm (tulisan) al-Qur`an di kalangan para sahabat telah diabadikan oleh Imam al-Sajistsani dalam kitabnya “al-Mashâhif”.
Dan pada masa khilafah Utsman bin Affan, keresahan muncul kembali berkaitan dengan sedemikian banyaknya berbedaan tulisan dan bacaan al-Qur`an, yang dikhawatirkan akan muncul perbedaan pendapat dan perpecahan umat Islam dikemudian hari. Apa yang diharapkan adalah persatuan umat, dan persatuan dapat dicapai dengan syarat kitab sucinya harus satu tidak boleh berbeda-beda. Dengan landasan pemikiran ini, akhirnya khalifah ketiga Utsman bin ‘Affan yang memerintah pada tahun 644 – 665, ayat-ayat yang terkumpul ditulis kembali dan dihimpun dalam bentuk kitab al-Qur`an yang diberi nama Mushaf ‘Utsmânîy atau yang dikenal sekarang dengan al-Qur`ân Rasm ‘Utsmâniy.
Pada masa Abd al-Malik bin Marwan wilayah kekuasaan Islam makin luas sehingga pemeluknya bukan saja orang Arab. Sejak saat itu al-Qur`an disempurnakan dengan memberi tanda baca. Saat itu pula berkembang perpaduan seni Islam dan seni lokal yang tertuang dalam desain dan iluminasi al-Qur`an. Seni lokal itu antara lain Arab, Persia, Mesir, Spanyol, Bizantium, India, Cina, termasuk Indonesia.

Mencetak al-Qur`an Dalam Perspektif Syariat
Setelah umat manusia menemukan teknologi percetakan. Cina pada abad ke-14 menemukan teknologi percetakan yang masih manual—modern untuk zamannya. Dan selanjutnya Johann Gutenberg pada tahun 1450 menemukan tekonologi percetakan yang lebih maju dari Cina, dan buku yang pertama kali dicetak adalah Alkitab.
Umat Islam pun menikmati berkah dan manfaat dari percetakan dengan mereproduksi al-Qur`an sebanyak-banyaknya. Bahkan percetakan yang sekarang sudah semakin modern, seperti muncul internet, rekaman, CD, audio visual, dll, juga umat Islam menggunakannya cukup maksimal untuk mensosialisasikan dan mendakwahkan al-Qur`an.
Benar bahwa teknologi percetakan yang berkembang sedemikian pesatnya tidak atau belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup. Bahkan kodifikasi al-Qur`an dilakukan pada masa pasca Nabi. Kita tahu bahwa dalam historiografi bahasa Arab kuno pra-Islam, pada masa Nabi sampai pasca Nabi masih belum ada bentuk huruf-huruf hijaiyah, dan belum terbentuk seperti sekarang kita ketahui. Dan penulisan al-Qur`an dengan bahasa Arab yang huruf-huruf hijaiyah berbentuk seperti sekarang ini baru ditemukan oleh seorang ulama yang terkenal pakar bahasa Arab, pengagas pertama al-Mu’jam bahasa Arab yang diberi judul Mu’jam al-‘Ayn, dan penemu rumus dan teori notasi syair Arab (‘arûdh dan qawâfîy), yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sekitar abad ke-2 Hijriyah. Dengan ketekunan dan kepiawaiannya, huruf-huruf Hija`iyah bahasa Arab bisa dibaca oleh siapa pun, baik orang Arab atau non-Arab. Dan al-Qur`an selanjutnya ditulis dengan menggunakan pola penulisan tersebut.
Lalu bagaimana pandangan syariat dalam menyikapi persoalan percetakan al-Qur`an? Pertanyaan ini dirasa perlu diajukan, sekurang-kurangnya ada beberapa sebab yang perlu dijelaskan dan diluruskan. Dan sebab yang paling signifikan adalah adanya doktrin bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh dan pada masa Nabi adalah bid’ah yang tidak boleh direalisasikan. Pencetak al-Qur`an karena itu adalah bid’ah sebab Nabi sendiri tidak pernah melakukannya. Ada sebuah hadits yang sangat terkenal, “Kullu bid’ah dhalâlah, wa kullu dhalâlah fî al-nar” (Semua bid’ah adalah menyesatkan. Dan setiap yang menyesatkan akan menjerumuskan ke dalam neraka). Hadits ini tidak bisa kita ambil dan ditelan mentah-mentah, harus ditafsiri dengan tepat. Apa yang dimaksudkan hadits tersebut, dengan menggunakan pendekatan mantiq, adalah ba’dh min kull (sebagian dari keseluruhan), yang artinya tidak seluruh bid’ah adalah menyesatkan. Hanya sebagian bid’ah saja yang menyesatkan, sedangkan sebagian yang lain tidak menyesatkan bahkan ada yang diwajibkan. Dalam satu keterangan kitab kuning saya kutipkan:
“Dzakara al-Syaykh al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’ ‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa al-syarâ`i’ idz khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibîn].
(...Syaikh al-Imam Abu Muhammad bin Abd al-Salam menjelaskan dalam kitabnya, al-Qawa’id, bahwa hukum bid’ah dapat dibagi menjadi lima: wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Dan contoh bid’ah yang wajib dilakukan adalah tadwin (mengkodifikasi) dan mencetak al-Qur`an atau mencetak disiplin ilmu-ilmu syariat, [yang kalau tidak dicetak dan dikodifikasi] ditakutkan akan hilang..)
Dengan mengacu pada keterangan tersebut, maka mencetak al-Qur`an adalah bid’ah yang wajib direalisasikan. Sudah barang tentu, percetakan al-Qu`ran tidak terbatas dan monoton satu varian iluminasi dan satu gaya tulisan, bahkan absah juga dicetak dengan berbagai macam varian iluminasi, ornamen dan tipe yang diinginkan sesuai selera dan budaya yang pantas.

Mengagas Mushaf Cirebon
Indonesia yang tercatat secara kualitas penduduk Muslimnya terbanyak di dunia. Dan Indonesia terdiri suku-suku dan daerah yang memiliki kebudayaan dan kesenian lokal yang cukup kaya. Di samping, kecintaan terhadap al-Qur`an tidak diragukan lagi tertanam dalam pribadi umat Muslim. Salah satu buktinya adalah antosiasme masing-masing daerah mencetak al-Qur`an dengan menggabungkan dan mengelaborasikan antara seni Arab dan seni lokal setempat.
Di Jawa Barat, terdapat cetakan al-Qur`an yang menjadi ciri khas Pusdai Jabar, yang dinamakan dengan al-Qur`an Mushaf Sundawi, sebuah karya monumental mushaf yang iluminasi atau ornamenya berasal dari motif Islami Jawa Barat, seperti mamolo mesjid, motif batik, mihrab, dan artefak lainnya. Desainnya bersumber pada flora khas Jawa Barat, seperti Gandaria dan Patrakomala.
Penulisan Mushaf Sundawi mengacu dan tunduk pada kaidah baku ragam Utsmani dengan jenis tulisan atau Khat Naskhi, Tsuluts, dan Kifi. Mushaf Sundawi ditempatkan pada peti yang didesain khusus dan dipamerkan di ruang pameran Mushaf Sundawi di kompleks Pusdai Jabar.
Al-Qur`an tersebut disimpan di Galeri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, jalan Diponegoro, Kota Bandung. Banyak orang belum mengetahui adanya al-Qur’an dengan hiasan motif Sunda. Mushaf Sundawi disimpan dalam tiga peti yang dilapisi emas dan berukir khas Sunda. Di dalam peti terdapat lembaran al-Qur’an besar. Sementara di dinding galeri juga terpajang beberapa ayat al-Qur`an yang memiliki iluminasi yang berbeda-beda.
Seni mushaf atau memperindah kitab sudah dimiliki oleh masyarakat Indonesia seperti Aceh, Sumatera Barat, pesisir Utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Jawa Timur, dan Madura. Dari kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan daerah-daerah Islam lainnya sudah dipastikan adanya mushaf tulisan tangan yang dihiasi iluminasi. Iluminasi antara lain terdapat pada cover al-Qur`an dan bingkai ayat-ayat setiap lembar al-Qur`an.
Pada tahun 1995, berdasarkan surat keputusan Kepala Daerah Jawa Barat dibuat Mushaf Sundawi. Inspirasi iluminasi dan desain berasal dari momolo (kubah mesjid khas Jawa Barat), batik, ukiran mimbar dan artefak lain. Motif berbentuk binatang dan bunga khas Jawa Barat. Motif tersebut antara lain dua buah motif teh, padi, motif khas Banten, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tangerang, Betawi, Indramayu, Cirebon, Bekasi, karawang, Purwakarta Subang, Ciamis, Banjar, dan Tasikmalaya.
Jauh sebelum dicetknya Mushaf Sundawi Jabar tersebut. Terlebih dahulu terdapat Mushaf Cirebon yang masih tersimpan di keraton Cirebon. Mushaf Cirebon tersebut dengan iluminasi menggunakan ukiran gambar bentuk Makhluk zomoorphic Macan Ali. Belakangan dicetak juga Mushaf Sumedang dan Banten.
Hanya saja, cukup disayangkan bahwa Mushaf Sundawi Jawa Barat dan Mushaf Cirebon kuno disimpan di keraton atau di masjid atau Galeri Pusat Dakwah Islam tertentu sebagai simbol Islam lokal. Tidak dicetak secara massif. Dan karenanya perlu ada gerakan massif pencetakan Mushaf Cirebon kembali dan bukan sekedar untuk disimpan di sebuah tempat keramat dan menara gading.
Meski Jawa Barat sudah mencetak mushaf khas dan sebagai identitas Islam lokal. Akan tetapi dirasa belum bisa mewakili secara keseluruhan daerah-daerah yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa wilayah Jabar bermacam-macam suku, di antaranya suku Sunda, Jawa, dan Betawi. Seperti Cirebon, Indramayu, dan Subang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa dan sebaian lagi Sunda. Karena itu jika mushaf Jabar adalah mushaf Sundawi, niscaya belum mewakili secara utuh Jawa Barat yang mengandung beragam suku itu. Di samping, bahwa dalam aspek keilmuan Islam merupakan sesuatu yang lumrah jika ada perbedaan pandangan dan capaiannya. Dalam persoalan al-Qur`an, misalkan, bisa jadi tanda baca al-Qur`an Jawa Barat dan al-Qur`an Cirebon ada perbedaan. Dan perbedaan menunjukkan sebuah kekayaan khazanah Islam tersendiri, dan bukan menunjukkan kelemahan tapi justru kelebihan.
Cirebon bagaikan majma’ al-bahrayn (tempat bertemunya dua lautan), yaitu lautan Jawa dan Sunda. Dan kedua tradisi dan kebudayaan ini tercermin dalam satu identitas tersendiri. Namun, jika dilihat dari segi proses Islamisasi, maka Cirebon jauh lebih tua dari daerah-daerah yang ada di Jabar lainnya. Bahkan Sunan Gunungjati, salah satu walisongo, memilih Cirebon sebagai sentral dakwah Islam Jabar. Mushaf Cirebon kuno yang dihiasi dengan iluminasi macan Ali, sebagai lambang bahwa penyebar Islam di Cirebon, yaitu Sunan Gunungjati adalah seorang habib keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan dengan masuknya Islam, secara otomatis al-Qur`an pun secara bersamaan ikut masuk ke Cirebon jauh sebelum Jabar. Karena itu, mushaf al-Qur`an Cirebon dirasa perlu untuk dihidupkan kembali dengan dipoles menggunakan kesenian lokal khas daerah dan dimodif sedemikian rupa diselaraskan dengan zaman.
Mushaf Cirebon harus direproduksi dengan iluminasi khas Cirebon, seperti ukiran batik, sebagai seni lokal, dan diracik dengan seni yang lain. Dan yang terpenting adalah tanda baca yang jika memiliki ke-khas-an tersendiri harus ditulis atau ditorehkan dalam mushaf tersebut. Kita tahu bahwa di Cirebon terdapat tanda baca yang khas. Meski jika diruntut genealogi al-Qur`an atau silsilah sanadnya, Cirebon dan daerah-daerah yang lain, seperti Yogyakarta dan Kudus, ada sambungan dan tali-temali mengrucut pada satu guru. Akan tetapi sebagaimana umumnya dalam tradisi keilmuan Islam, seperti bacaan al-Qur`an, setelah guru menyampaikan pada murid-muridnya, maka ilmu bacaan al-Qur’an yang sampai pada murid-murid akan berbeda-beda. Perbedaan para murid adalah wajar. Sebagaimana Nabi mengajarkan bacaan al-Qur`an pada para sahabat, dan terjadi perbedaan antar para sahabat. Sehingga sah-sah saja jika muncul mushaf Kudus, dan mushaf Cirebon.
Dan saat ini, kiranya cukup signifikan jika dicetak mushaf Cirebon sebagai bacaan umat Islam Indonesia dan dipasarkan secara massif, bila perlu diekspor ke luar negeri seperti Timur Tengah. Sehingga, umat Islam Indonesia bukan hanya menjadi konsumen al-Qur`an produk Timur Tengah. Tapi kita menjadi produsen al-Qur`an dan orang Arab Timur Tengah menjadi konsumennya. Sebab, al-Qur`an tidak hanya milik umat Islam Arab, namun juga milik umat Islam Indonesia, dan umat Islam Cirebon. Dengan kata lain, al-Qur`an Cirebon untuk umat Islam sedunia. Wa ma arsalnak-a illa rahmatan li al-‘alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar