Jumat, 21 Januari 2011

Madrasah di Tengah Tantangan Global

Oleh Uki Marzuki






**
System of education madrasah represent the continuation form from growth of Islam education in pesantren. As education institute, madrasah born along the happening of process of change of opinion and science among effect moslem global touch by Haramain - Mekkah And Madinah-- as cultural center and Islam. Madrasah in Indonesia born to realize the desire carry out the more programed education after pesantren expand [in] Nusantara. With the this system madrasah, in note Malik, that moment Islam people more conducive carry out the Islam education with the study pattern which klasikal. This pattern differ from education previous pesantren have thrived and develop the tradition learn individually like representation at model learn the buku yellow recognized by the name of sorogan, bandungan or wetonan.
                                                                         **


A. Wacana Pembuka
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, peran madrasah tentu tidak bisa dilupakan begitu saja. Lembaga pendidikan ini telah cukup lama memberikan sumbangsih bagi perkembangan pendidikan, termasuk turut berjasa dalam mendidik anak-anak muslim di negeri ini. Sejak akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang madrasah terus berperan mendidik anak-anak Indonesia melalui pola pembelajaran yang berciri khas keagamaan Islam. Dengan demikian peran madrasah jelas tidak bisa dianggap enteng dalam proses pendidikan anak di Indonesia.
Keberadaan madrasah pun diakui sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Madrasah Diniyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) maupun Madrasah Aliyah (MA) diakui sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan menjadi bagian dari keseluruhan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Ini yang menurut A. Malik Fadjar , merupakan keunggulan Sisdiknas di Indonesia yang demikian akomodatif dalam mengintegrasikan pranata-pranata pendidikan yang beragam ke dalam bangunan sistemik pendidikan nasional. Pengakuan ini setidaknya bisa dijadikan sandaran dan pijakan untuk memosisikan madrasah sama dengan sekolah, termasuk keharusan bagi madrasah untuk menyesuaikan diri dan mengikuti berbagai perangkat normatif dan tuntutan peningkatan kualitas pendidikan sesuai dengan semangat yang kini diusung Sisdiknas
Muhaimin , mengartikan madrasah sebagai tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan, atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Sementara Malik Fadjar mengartikannya dengan tempat atau wahana bagi anak untuk mengenyam proses pembelajaran dengan menjalani proses belajar yang terarah, terpimpin dan terkendali.
Hanya saja menurut Malik Fadjar, dalam lingkup kultural madrasah memiliki konotasi spesifik yakni sebagai tempat belajar hal ikhwal atau seluk-beluk agama atau keagamaan Islam. Dalam proses pembelajaran, tradisi belajar dan sumber anggarannya, madrasah dikelola dengan semangat berbeda dibanding lembaga pendidikan persekolahan lain. Semangat itu tercermin dari cirri madrasah berupa kemandirian dalam pendanaan (Malik fadjar, 1998) , pembelajaran dan orientasi keumatannya serta tradisi keilmuannya (Maksum, 2002),
Makalah ini disusun sebagai sebuah studi untuk menelusuri keberadaan madrasah di Indonesia sejak dulu hingga kini. Pembahasan makalah ini lebih pada sebuah kajian untuk melihat madrasah sejak awal pertumbuhannya dan adaptasi budaya dan sosialisasi secara intensif sehingga bisa tetap bertahan dan diterima oleh masyarakat Indonesia hingga kini. Pembahasan mengenai tantanggan dan tuntutan kontemporer seiring dengan hadirnya era global merupakan bagian lain yang akan dibahas dalam makalah ini. Harapannya diperoleh gambaran yang jelas dan tegas mengenai peran madrasah dalam spektrum pendidikan nasional dan kemampuan adaptasinya terhadap budaya lokal dan tuntutan global yang meniscayakan kebutuhan akan kualitas lulusan madrasah yang siap berkompetisi di era persaingan yang kompetitif dan membutuhkan kualitas Sumber Daya Manusia unggul..

B. Sejarah dan Spektrum Budaya
Kemunculan madrasah di Indonesia sangat erat kaitannya dengan desakan kebutuhan masyarakat muslim saat itu yang membutuhkan institusi pendidikan Islam yang bisa memenuhi harapan mereka saat itu. Muhaimin (2005) mengungkap dua faktor penting yang melatari kemunculan madrasah, yakni:
Pertama, adanya pandangan yang menganggap sistem pendidikan Islam tradisional (pesantren) kurang memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran terhadap cepatnya perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di tengah masyarakat.
Berkaitan dengan proses pertumbuhannya, Malik Fadjar menyebut sistem pendidikan madrasah merupakan bentuk lanjutan dari pertumbuhan pendidikan Islam di pesantren. Malik Fadjar mengidentifikasi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang lahir seiring terjadinya proses perubahan pemikiran dan keilmuan di kalangan muslim akibat persentuhan global dengan Haramain –Mekkah dan Madinah-- sebagai pusat budaya dan agama Islam. Madrasah di Indonesia lahir untuk mewujudkan keinginan menyelenggarakan pendidikan yang lebih terprogram setelah pesantren berkembang di Nusantara. Dengan sistem madrasah ini, dalam catatan Malik, umat Islam saat itu lebih memungkinkan menyelenggarakan pendidikan Islam dengan pola pembelajaran yang klasikal. Pola ini berbeda dengan pendidikan di pesantren yang sebelumnya telah tumbuh subur dan mengembangkan tradisi belajar secara individual seperti terepresentasi pada model belajar kitab kuning yang dikenal dengan nama sorogan, bandungan atau wetonan.
Kontak pemikiran itu pula yang menurut Malik Fadjar memicu tumbuh dan berkembangnya pola pembelajaran ilmu-ilmu keislaman yang dikelola dengan sistem madrasi. Karena pola ini dinilai memungkinkan cara pembelajaran secara klasikal serta bisa mengelompokkan pelajaran-pelajaran tentang Islam secara bertingkat-tingkat dengan mempertimbangkan rentang waktu yang dibutuhkan.
Malik Fadjar juga menyebut madrasah sebagai sebuah fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih tepatnya muncul sejak akhir abad ke-19 Masehi. Bahkan, menurutnya, madrasah telah menjadi sebuah wujud entitas budaya Indonesia. Ia diakui dan diterima kehadirannya oleh masyarakat Indonesia karena institusi pendidikan Islam ini telah melampaui proses sosialisasi yang relatif intensif. Kendati demikian, Malik menyebut madrasah bukan produk budaya asli Indonesia (Indogenius) .
Malik merujuk pada nama "madrasah" yang menggunakan Bahasa Arab. Dilihat dari makna katanya, madrasah berarti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran yang secara formal, tidak berbeda dengan sekolah. Namun dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik karena di lembaga ini anak mendapat pembelajaran seluk-beluk agama dan ilmu keagamaan. Karena hal inilah madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama.
Pernyataan malik Fadjar itu menunjukkan bukti pengakuan terhadap madrasah sebagai komponen budaya dan bagian dari tradisi pendidikan Islam di Indonesia yang telah mewujudkan eksistensinya dalam rentang waktu yang cukup panjang.Ini menjadi bukti peran nyata dan ketangguhan madrasah dalam tradisi pendidikan Indonesia, termasuk ketika harus berdampingan dengan lembaga pendidikan lain sekaligus berasimilasi dengan tradisi pendidikan Islam bernama pesantren.
Sementara Abdurrahman Mas'ud (2002) dan Maksum Mukhtar (2005) mengaitkan perkembangan madrasah dengan sejarah pertama kalinya di dunia Islam, yakni lembaga pendidikan yang didirikan di zaman Perdana Menteri Bani Saljuk di Baghdad, Nizam al-Mulk pada tahun 457 Hijriyah atau 1063 Masehi bernama madrasah. Madrasah masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam ke wilayah nusantara yang disebarkan oleh Walisongo.

C. Perubahan Format
Format madrasah pun menjadi semakin jelas seiring dengan bertambahnya waktu. Namun demikian, dari segi isi dan visi keislaman terus berubah. Malik Fadjar mengidentifikasi perubahan isi dan visi keislaman yang diusung madrasah di Indonesia terjadi seiring dengan perubahan pemikiran Islam di tanah air untuk memenuhi tuntutan penyesuaian dengan kebutuhan umat atau reinvention.
Malik Fadjar juga mengungkap perubahan isi dan visi keislaman di madrasah terjadi secara bertahap seiring dengan berbagai dinamika pemikiran dan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Perubahan pemikiran Islam itu antara lain dipengaruhi oleh::
Pertama, penguatan pemikiran Islam murni seiring dengan makin kuatnya pembentukan jaringan intelektual muslim di tanah air pada abad ke-19 Masehi. Perubahan itu tidak menghilangkan nuansa mistik yang mendominasi pemikiran Islam saat itu, tapi nuansa mistik tetap dipertahankan namun lebih diarhkan untuk mengikuti mainsream besar yang dilatarbelakangi keinginan untuk mendekatka dengan kaidah-kaidah syariah. Hal ini kemudian ditandai dengan munculnya neo-sufisme dalam kehidupan umat Islam dan hal itu berpengaruh terhadap corak pengetahuan Islam yang diajarkan di madrasah.
Kedua, perkembangan pendidikan barat yang dibentuk Belanda pada paruh pertama abad ke-20 ternyata memberikan pengaruh terhadap madrasah. Hal ini tidak hanya memicu tumbuh dan berkembangnya madrasah-madrasah diniyah baik dalam jumlah maupun penguatan kualitas sebagai lembaga yang khusus untuk mendalami ilmu agama atau tafaqquh fi al-din, tapi juga mendorong tumbuh dan berkembangnya madrasah-madrasah yang melakukan kombinasi dalam pengajaran dan pendidikan agama dengan memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, Seperti halnya terlihat dari berdirinya Madrasah Adabiyah di Sumatra Utara, Madrasah Muhammadiyah, madrasah pesantren Islam, PUI dan NU, bahkan madrasah PUI di Majalengka Jawa Barat memasukkan ke dalam kurikulumnya upaya membangun ekonomi kerakyatan umat Islam.
Ketiga, gerakan wajib belajar yang dilontarkan pemerintah pada tahun 1950 hingga tahun 1960-an membuat madrasah terpanggil untuk berperan secara spontan dengan membentuk Madrasah Wajib Belajar (MWB). Issue pemberdayaan masyarakat perdesaan yang demikian menguat pada tahun 1950 hingga 1960-an kemudian turut memunculkan usaha-usaha untuk mewujudkan MWB menjadi salah satu lembaga yang bisa memainkan peran dalam pembangunan perdesaan, Ini pula yang memunculkan kebijakan waktu belajar selama delapan tahun di madrasah. Sejak kelas 1 hingga 6, pendidikan di madrasah diarahkan untuk memenuhi tuntutan wajib belajar enam tahun seperti biasanya di sekolah, sementara waktu belajar dua tahun di kelas 7 dan 8 diselenggarakan sebagai kelas kemasyarakatan di mana siswa dibekali pengetahuan, watak dan keterampilan agar setelah lulus memiliki kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat.
Dalam perkembangannya hingga kini, madrasah telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan situasi yang melatarbelakanginya
Muhaimin mencatat Departemen agama sebagai institusi yang menaungi madrasah, baik MI, MTs maupun MA, terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan di lembaga ini melalui inovasi dan eksperimentasi demi mewujudkan madrasah menjadi lembaga pendidikan yang ideal dan bisa menjadi bagian dari Sisdiknas.
Upaya inovatif dan eksperimentatif Depag itu terlihat dari berbagai kebijakan Depag atau Menteri Agama dari waktu ke waktu. Upaya tersebut tereksperimentasi melalui berbagai kebijakan menteri agama sejak era H.A. Mukti Ali hingga kini.
Pertama, kebijakan di era Menteri Agama H.A. Mukti Ali (1972-1977). Jika semula madrasah hanya mau mengakomodir pelajaran-pelajaran agama untuk diajarkan kepada peserta didiknya, madrasah lambat-laun berubah. Bahkan sejak Era Menteri Agama H.A. Mukti Ali, tahun 1975, madrasah ditengarai semakin akomodatif dan responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sehingga mau membuka diri mengajarkan ilmu-ilmu umum kepada anak didiknya. Kendati demikian, dalam catatan sejumlah pemerhati madrasah, perubahan yang dilakukan madrasah pada dasarnya tetap tidak melepaskan diri dari corak khas sesuai ikatan budaya Islam (imtaq). Sehingga madrasah sampai kini nasih kental dengan corak ilmu-ilmu agama Islam yang lebih supreme dibanding ilmu-ilmu umum.
H.A.Mukti Ali melakukan upaya peningkatan mutu madrasah dengan menawarkan konsep alternatif melalui penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri dengan tujuan untuk menyejajarkan kualitas madrasah dengan sekolah umum dengan porsi kurikulum 70 pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama.Upaya ini dilakukan untuk menjadikan madrasah tak lagi marginal karena hanya berkutat pada kajian keagamaan Islam dan miskin pengetahuan umum sehingga out put-nya tidak diperhitungkan masyarakat
Dalam konteks pembaharuan madrasah Indonesia, Maksum justru menyebut gerakan Yunusiyah oleh Zainudin Labai El-Yunusi yang mendirikan Diniyah School pada tahun 1919 sebagai sumber inspirasi penting dalam kaitan dengan upaya memasukkan ilmu-ilmu umum dan metode pembelajarannya sebagai ilmu dan model yang diajarkan di madrasah.
Sementara dalam hal afiliasi dan ilmu agama Islam yang menjadi ciri khas madrasah, Maksum menyebut semangat Natsiriyah atau pembentukan Departemen Agama RI pada tahun 1946 oleh M. Natsir sebagai peristiwa penting. Pembentukan Depag saat itu dilakukan sebagai kompensasi tidak terakomodirnya Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara Indonesia. Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan kemudian lebih memilih berafiliasi ke Depag meski pun ketika itu departemen ini masih miskin dana, SDM, manajemen dan sarana. Karena hal itulah, madrasah pun berkembang secara mandiri dan mengandalkan swadaya umat Islam.
Berkaitan dengan kemandirian madrasah dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan madrasah, Malik Fadjar mencatat partisipasi masyarakat Indonesia terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam dalam bentuk madrasah sangat besar. Hal itu terlihat dari jumlah madrasah yang dikelola dan didirikan masyarakat di Indonesia yang jumlahnya lebih besar dibanding madrasah yang dikelola pemerintah. Hingga tahun 2005, dari jumlah madrasah yang menyelenggarakan pendidikan umum dan agama di Indonesia sebanyak 36.000 buah, sekira 96 persen merupakan sekolah yang berstatus swasta, sedangkan dari jumlah madrasah yang hanya mengkhususkan pendidikan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah (MD) sebanyak 22.000 buah semuanya berstatus swasta. Selain itu, banyak juga MI, MTs dan MA yang berada di bawah naungan pondok pesantren dan semuanya dikelola kalangan swasta, bukan pemerintah.
Kedua, ketika Menteri Agama RI dijabat Munawir Sadzali, upaya pengembangan madrasah dilakukan dengan konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Upaya tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kedangkalan ilmu agama lulusan madrasah sekaligus menjawab problem kelangkaan ulama atau umat Islam yang menguasai kitab-kitab berbahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman. MAPK kemudian dikenal dengan sebutan MA kejuruan dan MA non-agama disejajarkan dengan SMA.
Ketiga, saat Tarmidzi Taher menjabat sebagai Menteri Agama RI, ia menawarkan kebijakan dengan jargon “Madrasag sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam” yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non-madrasah. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan Menteri Agama H.A. Malik Fadjar yang berupaya memantapkan eksistensi madrasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman, memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah dan menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta era globalisasi. Para Menteri Agama RI berikutnya, menurut Muhaimin (2005) tidak mempermasalahkan jargon tersebut tapi juga tidak memiliki jargon alternatif kecuali hanya berusaha memantapkan eksistensi madrasah yang diarahkan pada tiga tuntutan minimal tersebut.
Namun demikian, berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di madrasah itu belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Karena menurut Maksum Mukhtar (2005), kualitas madrasah secara keseluruhan –apalagi yang berstatus madrasah swasta—berada pada tataran yang memprihatinkan dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau bahkan jika disejajarkan dengan sekolah-sekolah yang dikelola organisasi dan yayasan umat Islam. Maksum menunjuk kurikulum madrasah yang terlalu padat dan membebani siswa sebagai penyebab rendahnya kualitas madrasah. Karena kurikulum yang bercorak keilmuan, cenderung membebani siswa sehingga berdampak terhadap rendahnya kualitas lulusan madrasah. Karena penguasaan siswa terhadap materi-materi pelajaran agama menjadi dangkal, apalagi penguasaannya terhadap ilmu-ilmu umum yang relatif baru dan bukan ciri khas madrasah. Ini berbeda dengan corak kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah umum yang bercorak tematik dan tidak membebani siswa, apalagi ini juga disampaikan hanya beberapa jam saja dalam satu minggu.
Selain muatan kurikulum keislaman yang lebih padat, supremasi ilmu-ilmu agama yang lebih dominan membuat madrasah dan siswanya kurang mampu mengembangkan diri untuk merespons realitas kontemporer akibat terlalu terbebani ilmu agama dan supremasi ilmu agama sebagai akibat kentalnya pengaruh dikotomi ilmu agama dan ilmu umum yang berkembang di dunia Islam.
Mengenai dikotomi ilmu umum dan ilmu agama tersebut, Abdurrahman Mas’ud (2002), mengaitkannya dengan hinggapnya simtom dikotomik di dunia Islam pada abad ke-13 hingga abad ke-18 Masehi. Simtom itu berupa pemikiran dan sikap memisahkan ilmu agama dan ilmu umum yang dilatarbelakangi alasan politis dan sikap antagonistis terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) maju yang dihasilkan negara-negara barat yang Kristen. Simtom dikotomik yang berkembang di dunia Islam itu kemudian merambah ke lembaga pendidikan Islam dan berdampak pada supremasi ilmu agama secara monolitik, pemisahan wahyu dan akal serta wahyu dan alam. Simtom dikotomik itu nyatanya terus mempengaruhi pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia pendidikan, termasuk terhadap corak dan model pendidikan di madrasah di Indonesia.
Ini pula yang mengakibatkan pendidikan di dunia Islam menurun kualitasnya dan menjadi terbelakang, termasuk madrasah-madrasah di Indonesia yang juga turut terpengaruh oleh simtom tersebut. Karena pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum telah mengakibatkan ilmu agama berjalan monolitik dan tertutup dari berbagai pengaruh kemajuan iptek. Sementara pemisahan wahyu dan akal serta wahyu dan alam mengakibatkan ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Islam menjadi miskin penelitian dan pendayagunaan akal. Padahal, baik integrasi ilmu agama dan ilmu umum, pendayagunaan akal maupun tradisi penelitian, menurut Abdurrahman Mas’ud merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya pendidikan Islam yang bermutu tinggi dan maju.

.
D. Tantangan Globalisasi
Milenium ketiga meniscayakan sebuah perubahan besar dalam kehidupan manusia di jagat ini. Kemajuan teknologi informasi telah nyatanya telah menghadirkan perubahan sangat mendasar dan revolusioner dalam kehidupan manusia. Era ini pula yang disebut Alvin Toffler sebagai abad infromasi.
Jagat semakin pendek, informasi dari belahan bumi yang satu dengan mudah masuk dan diakses oleh manusia di bagian jagat yang lain. Kemajuan itu pun amat mencenangkan karena dengan kekuatan yang instan, modial dan penetratif, bahkan informasi melalui teknologi komunikasi bisa menyebar dan diakses dalam kecepatan yang neno second.
Berkat kemajuan yang dicapai manusia itu dunia menjadi seolah tanpa batas, mudah diakses dan setiap orang pun bisa masuk ke wilayah-wilayah yang semula tak bisa dirambah. Informasi telah berkembang sedemikian rupa dan mudah diakses sekaligus disebarkan. Dunia seolah pendek, kecil dan mudah direngkuh. Ini pula yang disebut Marshal Mc. Luhan sebagai era hadirnya Global Village (Desa Buana).
Era global nyatanya tak hanya menghadirkan kemudahan akses informasi bagi manusia, era ini juga bakal menghadirkan dilema kebudayaan dan munculnya sejumlah dampak buruk yang diakibatkannya.
Melalui tesisnya, Huntington (1996) menyebut era ini sebagai zaman yang bakal memunculkan identitas budaya dan peradaban sebagai hal yang sangat penting. Huntington bahkan menyebut budaya akan menjadi sumber fundamental bagi terjadinya konflik di dunia setelah perbedaan ideologi dan kepentingan ekonomi. Pergeseran dan krisis nilai sebagai akibat dari proses akulturasi budaya yang saling membunuh dan memarginalkan itu akan dengan mudah terjadi di era informasi ini.
Huntington menyebut enam alasan mendasar yang melatarbelakangi kemungkinan terjadinya konflik yang tajam itu, yakni:
Pertama, perbedaan antar peradaban yang mendasar dan terdefrensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan agama. Kedua, Dunia yang "sempit" akibat kemudahan teknologi informasi dan komunikasi mengakibatkan kesadaran bangsa-bangsa berperadaban berbeda untuk memperkokoh identitasnya akan meningkat dan hal itu bakal memperkuat perbedaan di antara bangsa-bangsa itu. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial membuat masyarakat tercerabut dari identitas lokal dan memperlemah posisi negara-bangsa sebagai sumber identitasnya. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban akibat peran ganda barat yang berada di puncak kejayaan sementara sebagian negara-negara non-barat justru makin melemah. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang menyatu sehingga kurang bisa berkompromi di antara perbedaan politik dan ekonomi dan keenam regionalitas ekonomi semakin meningkat.
Benturan peradaban tersebut, menurut Huntington, terjadi pada tingkat mikro antar kelompok yang berdekatan di mana mereka yang berada di sepanjang garis peradaban sering berjuang dengan kekerasan untuk menguasai perbatasan Sedangkan pada tingkat makro, negara-negara di dunia saling berebut kekuasaan ekonomi dan militer untuk menguasai lembaga-lembaga internasional dan pihak-pihak ketiga serta bersaing mempromosikan nilai-nilai agama dan politik mereka.
Apa yang ditimbulkan oleh globalisasi --baik manfaat maupun mudlaratnya—jelas memberikan tantangan tersendiri bagi lembaga pendidikan, termasuk madrasah.
Di era yang serba terbuka itu, selain meniscayakan persaingan yang demikian ketat, juga bakal memunculkan akulturasi budaya yang demikian mudah dan cepat. Globalisasi memang demikian unik. Karena menurut VS Naipul (1996) ia akan memunculkan fenomena universal civilitation. Sementara dalam kesempatan yang sama menurut Yasraf Amir Piliang (1998) justru akan membangkitkan kesadaran lokal
Berkaitan dengan tantangan globalisasi tersebut, lembaga pendidikan sebagai pencetak SDM unggul setidaknya harus memenuhi tipologi sekolah abad ke-21. Tipologi tersebut, menurut Lyn Haas (1994) menuntut setiap lembaga pendidikan atau sekolah untuk mampu memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yakni:
Pertama, mewujudkan pendidikan untuk semua yakni memperlakukan siswa secara sama, memberikan pelajaran untuk memperoleh kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, memiliki basis skill dan keterampilan sesuai dengan minat merek dan kebutuhan pasar tenaga kerja.Ini pun harus diberengi dengan upaya integrasi pendidikan akademik sebagai persiapan memasuki perguruan tinggi dan pendidikan keterampilab untuk memasuki pasar tenaga kerja sesuai tuntutan perubahan masyarakat terhadap pendidikan untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan.
Kedua, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar yang menghendaki setiap tenaga kerja memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika serta kemampuan mengakses pengetahuan.
Ketiga, penekanan pada kerjasama yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama. Karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka.
Keempat, pengembangan kecerdasan ganda yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
Kelima, integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Dari beberapa gambaran mengenai globalisasi di atas, penulis setidaknya menemukan dua persoalan penting berkaitan era ini.
Pertama, terjadinya benturan budaya yang akibatnya sangat fatal bagi kehidupan manusia. Marginalisasi bahkan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dunia yang terjadi seiring dengan proses akulturasi dan penetrasi budaya yang dipermudah oleh sarana teknologi infomasi jelas akan mengakibatkan pergeseran bahkan krisis nilaidalam kehidupan manusia. Kedua, terjadinya penjajahan oleh Negara-negara besar terhadap Negara-negara kecil, khususnya di bidang politik dan ekonomi. Ini terjadi seiring dengan dominasi negara-negara besar di bidang industri dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Dengan demikian, Negara-negara yang memiliki kapital lebih besar dan SDM yang handal akan terus menjadi penguasa ekonomi dan politik dunia, termasuk mendominasi persaingan antar manusia dan bangsa-bangsa di dunia.
Karenanya, madrasah dan para pengelolanya mesti berupaya keras melakukan berbagai langkah agar tidak tertinggal dan mampu merespons tantangan global dengan turut memainkan peran di era ini.
Pertama, bagaimana madrasah mampu meningkatkan mutu pendidikannya, baik mutu belajar maupun mutu lulusannya baik di bidang akademik maupun tuntutan pasar kerja dengan mengaitkannya pada tuntutan dan tantangan global. Ini penting dilakukan agar proses pendidikan di madrasah berkualitas sehingga bisa melahirkan lulusan yang berkualitas pula. Menyeimbangkan mutu pendidikan agama dan umum di madrasah, jelas menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi madrasah agar mampu membekali para siswanya dengan kemampuan ilmu agama dan ilmu umum yang berbasis Imtaq dan Iptek secara seimbang. Kenyataan mutu pendidikan madrasah yang lebih rendah dibanding dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Depdiknas menyiratkan betapa usaha untuk mewujudkan kualitas proses belajar dan mutu lulusan yang sesuai harapan demikian berat. Kedua, bagaimana madrasah secara eksternal mampu merepons berbagai tantangan global yang meniscayakan perubahan yang demikian cepat. Era persaingan global yang demikian kompetitif dan membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang bisa bersaing di era global merupakan sebuah tantangan dan kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Termasuk tantangan kebudayaan serta pergeseran dan krisis nilai yang mesti dihadapi seiring dengan marginalisasi dan pembunuhan budaya-budaya kecil oleh budaya-budaya besar dan berpengaruh di dunia.
Karena itulah, dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan global, para pengelola madrasah harus terbuka terhadap perubahan, inovasi dan pembaruan di lembaga pendidikan tersebut. Karena perubahan begitu cepat terjadi dan lembaga pendidikan seperti halnya madrasah dituntut untuk responsive dan dinamis terhadap berbagai perubahan, bukan malah statis dan anti perubahan.
Kemampuan madrasah melakukan adaptasi dan asimilasi budaya serta responsif terhadap perubahan dan tradisi lokal Indonesia sejak lama sehingga mendapat kepercayaan masyarakat hingga kini, jelas harus kembali diwujudkan di era persaingan global saat ini. Artinya, bagaimana ketangguhan madrasah dalam memainkan peran budaya dan responsive terhadap perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan sejarahnya kini kembali diuji. Hanya saja, tantangan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan era kontemporer. Jika dahulu kala struktur masyarakat relative sederhana dan tantangan perubahan zaman juga relative tidak berat, maka era global menyajikan perubahan struktur masyarakat yang gradual dan tantangan yang maha berat. Tapi inilah realitas yang harus dihadapi, bukan dihindari. Karenanya madrasah harus bekerja ekstra keras untuk menghadapi tantangan tersebut jika tidak ingin tergusur oleh persaingan dan tak legi mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan putra dan putrinya atau tergusur dalam peran pemberdayaan masyarakat, transformasi sosial dan penjaga budaya dan nilai di era global.***
Daftar Pustaka
-Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1998.
-Fadjar, A. Malik, 2005, Holistika Pemikiran Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
-Muhaimin, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta..
-Mas’ud, Abdurrahman, 2002, Menggagas Format Pendidikan Non-Dikotomik; Humanisme Religius Sebagai Format Pendidikan Islam, Mizan Bandung.
Maksum Mukhtar, Memotret Madrasah Aliyah dalam Penerapan KBK di Cirebon, Jurnal Holistika STAIN Cirebon, Volume 6 Nomor 1 Tahun 2005.
.- Huntington, Samuel P., 1996, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, New York: Simon and Schuster.
--Piliang, Yasraf A., 1998, Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodern, Mizan Bandung.
-Lyn Haas, 1994, School for The Twenty First Century, dalam William J. Mathis: Educational Renewal, Vermont Restucturing Collaborative, Holistik Education Press, Vermont, USA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar