Jumat, 21 Januari 2011

Dinamisasi Kitab Kuning

Oleh Mukti Ali el-Qum



                                                   ***
Classic copy heritage of moslem scholar of salaf as-shalih have been writed by following order of standard and tipologi writing at its epoch. And us which live now can know clearly and can access easily masterpiece all moslem scholar that salaf as-shalih, and also we know the its writing pattern. At least we can try to allot into two big shares, that is pattern of writing and its formulation pattern, we to explain below/under. However, there is community of people of Islam and moslem scholar generation its router, nun far from Arab, that is in Indonesia, what still hold firmly to values which is consisted in in masterpiece of moslem scholar of salaf as-shalih and even they (moslem scholar Indonesia) able to develop the system assess and develop the pattern of writing of ala of moslem scholar of salaf as-shalih become the variant and tipologi which rich enough.                                       ***




“Selain sebagai pedoman bagi tatacara keberagamaan, KK (Kitab Kuning) difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan..”. [H. Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi: Pustaka Isfahan, cet. I, 2009, hal. 49]

“At-turats huwa nuqthah al-bidayah ka masuliyati at-tsaqafah wa qaumiyyah. Wa at-tajdid huwa i’adatu tafsir at-turats thabaqan li-hayat al-‘ishri. Fa al-qadim yusbiqu al-jadid. Wa al-ashalah asas al-mu’asharah, wa al-washilah tuaddi ila al-ghayah. At-turats huwa al-washilah, wa at-tajdid huwa al-ghayah..”. [Hasan Hanafi, at-Turats wa at-Tajdid, Beirut: Muassasah ad-Dirasah, cet. 5, 2002, hal. 13]


PENDAHULUAN
ISLAM sebagai peradaban dibangun di atas hamparan dan bentangan teks-teks yang dihasilkan oleh para cendekiawan yang produktif menulis. Dengan dimulainya tradisi tulis-menulis di dunia Islam, maka dimulailah babak baru di mana Islam memasuki proses akselerasi peradaban dan sekaligus dianggap sebagai peradaban tersendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya-karya tulis pada mulanya dibentuk oleh peradaban (masa lalu?) dan tradisi tertentu dan akhirnya setelah menjadi korpus maka ia membentuk peradaban sendiri (tasykil wa at-tasayakkul).
Tradisi menulis, pada masa ‘ashr at-tadwin (masa kodivikasi), disiplin-disiplin ilmu keislaman tercatat dalam sejarah sebagai awal mula dirumuskan secara tertulis segenap konsep-konsep dari berbagai macam dimensi Islam, seperti konsep teologi (tauhid), ushul fikih, fikih, tafsir al-Quran, ilmu hadits dan kodivikasi kumpulan hadits-hadits, tasawuf, mantik, gramatika Arab (Nahwu dan sharf) dan sejarah—masih banyak lagi sebentulnya disiplin ilmu yang lainnya yang tidak dicantumkan di sini.
Perkembangan selanjutnya, tradisi menulis melalui proses dialektika dan dinamisasi internal terjadi kristalisasi dan akhirnya mendapatkan bentuk sistem penulisan yang kemudian dijadikan standar bagi para penulis. Standar penulisan itu cukup berlaku pada zamannya. Atau relevan bagi zamannya.
Naskah-naskah klasik (kitab kuning/turats) warisan ulama salaf as-shalih telah ditulis dengan mengikuti aturan-aturan standar dan tipologi penulisan pada zamannya. Dan kita yang hidup sekarang bisa mengetahui dengan jelas dan bisa mengakses dengan mudah karya-karya para ulama salaf as-shalih itu, serta kita mengetahui pola penulisannya. Sekurang-kurangnya bisa kita coba bagikan ke dalam dua bagian besar, yaitu pola penulisan dan pola penjabarannya, yang akan kita jelaskan di bawah.
Akan tetapi, ada komunitas umat Islam dan generasi ulama penerusnya, nun jauh dari Arab, yaitu di Indonesia, yang masih berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam karya-karya ulama salaf as-shalih dan bahkan mereka (ulama Indonesia) mampu mengembangkan sistem nilai dan mengembangkan pola penulisan ala ulama salaf as-shalih menjadi varian dan tipologi yang cukup kaya.
Namun sebelum menjabarkan produksi dan reproduksi Kitab Kuning terbentang dari produksi ulama salaf as-shalih pada masa Islam-Klasik di Arab sampai reproduksi Kitab Kuning produk ulama Indonesia. Terlebih dahulu kita jelaskan kedudukan Kitab Kuning di Pesantren.

PESANTREN DAN KITAB KUNING
Meneliti dan mengkaji pondok pesantren adalah pekerjaan yang menarik, menantang dan susah-susah gampang. Dikatakan menarik, karena ternyata tidak sedikit para pakar, pemikir dan peneliti baik dari dalam negeri, seperti Zamaksyari Dzlofier, Mendiang KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sudjoko Prasodjo, Mastuhu, Bahri Ghazali, Sukamto, Mukhtarom H.M, dan Dr. KH. Affandi Mochtar MA., maupun dari luar negeri, seperti Martin Van Brunessen, yang mengurai aspek-aspek yang terdapat pada diri Pesantren. Jurnal, majalah dan buku-buku yang menjelaskan tentang Pesantren pun sudah banyak yang diterbitkan.
Tapi sampai detik ini Pesantren masih terlihat “seksi” sehingga masih layak untuk disentuh, dijamah dan dicumbuhi dengan berbagai macam tinjauan dan kajian. Sebab dunia Pesantren adalah dunia yang simpel tapi kompleks, sub-kultur Indonesia tapi memiliki peradaban sendiri, dan memiliki aspek-aspek yang cukup kaya-raya yang senantiasai “menggoda” para peneliti dan pakar untuk mengetahui lebih dekat dan lebih komprehensif.
Para peneliti Pesantren yang sudah saya sebutkan di atas, dalam mengkaji dan meneliti Pesantren kebanyakan menggunakan perspektif antropologi dengan mengambil sample penelitian Pesantren tertentu. Seperti Zamakhsyari Dlofier mengambil penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang dan Tegalsari di Salatiga; Sujoko Prasojo dkk. meneliti Pondok Pesantren al-Falah dan delapan Pondok Pesantren di Bogor. Dan peneliti-peneliti yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu di sini.
Meski para peneliti ketika memotret Pesantren, tidak bisa lepas dari pembahasan Kitab Kuning sebagai materi pelajaran yang ada di Pesantren. Akan tetapi hanya Martin Van Brunessen yang betul-betul memotret korelasi Pesantren dan Kitab Kuning. Hanya saja, Martin memotret perkembangan Kitab Kuning (KK) sebatas pada masa kolonial dan pengaruh Kurdistan pada ulama-ulama Nusantara, di mana pada saat itu telah terjadi transformasi besar-besaran dari para ulama Nusantara yang pernah belajar di Arab dengan memboyong ilmu dan Kitab Kuning yang telah dipelajarinya di Arab lalu digelarkan di kampung halamannya masing-masing dengan mendirikan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berbasis KK.
Sedangkan perkembangan dan dinamisasi Kitab Kuning pada masa kontemporer bukan menjadi subyek penelitian Martin. Karena itu, penelitian terhadap perkembangan dan dinamika Kitab Kuning pada masa kontemporer adalah menarik untuk lakukan. Demi untuk menutupi kekosongan yang telah terjadi. Dan kami hendak mengambil bagian dalam penelitian ini.
Kitab Kuning (KK) diidentikkan dengan Pesantren. Akan tetapi, pada kenyataannya, KK tidak selalu ada di setiap Pesantren. Karena kita tahu bahwa pesantren cukup variatip dan beragam tipologinya. Sekurang-kurangnya ada tiga tipologi dan jenis Pesantren yang ada di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Pertama, pesantren tradisional, yang dikenal dengan pesantren salaf. Jenis pesantren inilah yang secara intensif mengkaji-mengaji, mendiskusikan dalam forum-forum musyawarah Kitab dan musyawarah Bahtsul Masail baik yang diselenggarakan antar kelas di pesantren tertentu atau antar pesantren atau bahkan di LBM PBNU, dan memasukkannya ke dalam kurikulum madrasah diniyyah (keagamaan) yang terdapat di dalam internal pesantren sebagai materi wajib bagi para santri dan bahkan kandungan serta substansi yang terdapat di KK adalah sebuah kebenaran ajaran yang harus dilaksanakan.
Kedua, Pondok Pesantren Modern. Seperti pesantren ala Gontor, paling tidak dalam perkembangan kontemporernya, telah “menghapuskan” jejak-jejak Kitab Kuning dari narasi pengetahuan dan pendidikan Islam yang ada di pondok pesantren tersebut. Dengan kata lain, pesantren sejenis ini tidak menggunakan KK sebagai mata pelajarannya dan menggunakan materi pelajaran yang ditulis oleh para ustadz-ustad pengajar atau ustadz senior atau karya kyai: sejenis diktat.
Nihilisme dan peniadaan KK pun terjadi di pesantren-pesantren yang tidak berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama (NU). Seperti pesantren-pesantren yang berafiliasi terhadap Muhammadiyah, seperti Mu’allimin di Jogjakarta, atau pesantren-pesantren yang berideologi Wahabisme. Karena bagi mereka, KK merupakan kitab karya manusia biasa, yang tidak bisa dibenarkan secara mutlak. Jargon yang dikumandangkan adalah “kembali kepada al-Quran dan al-Hadits”.
Namun, ada pesantren modern yang mengikuti gaya Gontor dengan sedikit sentuhan modifikasi yang agak berbeda dengan memasukkan KK sebagai kurikulum, hanya saja tidak dikaji secara serius kandungan dan subtansi yang ada di dalam KK, dan hanya dikaji dari sudut pandang kebahasaannya saja, seperti halnya Al-Amien Prenduan Madura.
Ketiga, Pesantren yang dikolaborasi dengan pendidikan formal. Meski di pesantren model ini mengajarakan KK, tetapi tidak intensif. Karena para santri tidak fokus dan konsentrasinya terpecah antara mempelajari KK dan pelajaran umum, sementara waktunya pun terbagi. Para santri sering kali mengalami dilema dalam skala prioritas; apakah memperioritas KK atau pelajaran umum. Seperti halnya pondok pesantren Tebuireng Jombang dan beberapa pesantren-pesantren yang tersebar di Jogjakarta. Model pesantren seperti ini, sering kali, mencetak alumnus yang serba tanggung (untuk tidak mengatakan serba “mentah”): pengetahuan KK setengah-setengah, dan pelajaran umum setengah-setengah.
Dengan melihat tipologi pesantren di atas, berarti hanya pesantren salaf (tradisional) lah yang fokus dan komitmen pada KK. Eksistensi Kitab Kuning (KK) masih tumbuh, berkembang di Indonesia dikarenakan digawangi oleh lembaga Pesantren tradisional. Karena itu, penelitian yang kami lakukan hanya pada pondok-pondok yang berbasis KK seperti halnya pondok pesantren salaf. Jika kita ingin memahami gaya hidup dan pandangan hidup ulama dan santri tradisional, maka kita harus memahami struktur epistemologi yang digunakannya. Dalam konteks ini, Kitab Kuning (KK) adalah kitab yang mengkonstruk narasi pengetahuan mereka dalam memandang dan menyikapi sesuatu.


I. TIPOLOGI REPRODUKSI KITAB KUNING MASA KLASIK ISLAM-ARAB

A. POLA PENULISAN KITAB KUNING ISLAM-ARAB
1. Matan
Matan merupakan salah satu bentuk naskah kitab kuning warisan ulama salaf as-shalih Islam-Arab. Pengertian matan yang berlaku di kalangan para pengkaji adalah salah satu bentuk teks atau naskah primer yang ditulis secara kreatif dan orisinil oleh sang penulis dengan tanpa ada tujuan atau dimotivasi untuk memberi catatan pinggir, komentar atau menjelasan atas teks lain. Eksistensi matan bersifat teks yang independen, tidak bergantung pada teks lain. Justru matan adalah teks yang dijadikan subyek tumpuan komentar dan penjelasan naskah-naskah lain. Bahkan sering kali matan diposisikan sebagai teks dimana teks-teks lain dibangun di atasnya (ma buniya ‘alaihi ‘ghayruhu)—apalagi jika sebuah teks dinilai menarik oleh segenap ulama maka bisa menuai syarh (penjelasan-lebih lanjut) yang cukup banyak.

2. Syarh
Syarh merupakan bentuk kedua naskah kitab kuning. Menurut bahasa Arab (etimologi) syarh adalah penyingkapan (al-kasyf) dan penjelasan (al-idzhar). Sedangkan menurut epistemologi, syarh adalah sebuah kalimat tertentu yang menunjukkan pada sebuah makna tertentu; yaitu penjelasan dan penyingkapan secara panjang dan lebar atas teks pertama (matan). Lebih jelas lagi, Aby Hilal al-Askari mendefinisikan syarah yaitu menjelaskan teks matan dan mengeluarkannya dari segenap kejanggalan (musykilat) menuju tajalli (tanpak jelas dan terang-benerang.
Terma syarh hanya berlaku ketika menjelaskan pada teks-teks selain al-Quran. Sedangkan jika menjelaskan teks al-Quran dengan menggunakan terma tafsir atau takwil.
Ada beberapa fungsi dibentuknya syarh, di antaranya pertama, menjelaskan persoalan yang masih remang-remang (ma khafiya minhu) yang terdapat dalam teks matan; kedua, menyingkap persoalan yang masih janggal dan problematik; ketiga, membuka kran persoalan yang kian tertutup. Artinya membuka atau mempermudah persoalan yang dianggap sulit dan susah difahami. Ketiga, meletakkan persoalan-persoalan pada tempatnya masing-masing (proporsional). Keempat, memperindah dan memperbaiki teks pertama (mustajadat). Tujuan yang paling utama dari bentuk syarh adalah agar dapat dipahami dan diakses dengan mudah oleh para pembaca, sehingga dibutuhkan uraian panjang dan lebah agar tujuannya tersebut tercapai. Meskipun ukuran panjang dan lebarnya syarh masih relatif.

3. Hasiyah
Adalah teks komentar atau catatan pinggir (anotasi) atas penjelasan panjang atas matan. Artinya hasiyah merupakan teks yang kedudukannya ke tiga setelah matan dan syarh.


4. Hawamisy
Hawamisy adalah teks yang berada di pinggir atau di tepi kitab. Menurut kebahasaan, hamisy berarti margin atau batas pinggir kitab, atau footnote (catatan kaki). Ada dua macam hawamisy; pertama, teks sebentuk catatan kaki atas teks syarh (komentar atau penjelasan), dan kedua teks kitab lain yang sejatinya sama sekali tidak ada korelasinya dengan teks syarh atau hasiyah yang berada di tengah kitab.


B. POLA PENJABARAN KITAB KUNING ISLAM-ARAB

1. Mukhtashar
Menurut tinjauan kebahasaan (etimologi), mukhtashar adalah bahasa Arab yang artinya meringkas atau ringkasan. Sedangkan ditinjau dari segi pengertian epistemologinya, para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam merumuskan apa itu mukhtashar. Sebagian ulama berpendapat, mukhtashar adalah mengembalikan struktur (susunan) kalimat dari penjabaran yang panjang-lebar dan bertele-tele menuju pemendekan struktur kalimat serta konsistensi maknanya tetap terjaga. Sebagian ulama lagi berpendapat, mensedikitkan susunan kalimat, dengan tanpa “menciderai” kandungan makna. Sebagian lagi berpendapat, sedikit kalimat banyak makna (ma qalla lafdzuhu, wa katsura ma’nahu). Sebagian ulama lainnya, membuang lebihan susunan kalimat [yang dianggap kurang penting] dan tetap terjaga konsistensi kalimat yang dianggap penting. Sebagian ulama yang lain berpendapat, mensedikitkan kalimat yang banyak dan mengumpulkan uraian kalimat yang memiliki potensi untuk dikembangkan.
Lalu jika demikian, maka apa perbedaan antara mukhtashar (ringkas) dan ijaz (singkat)? Abu Hilal al-‘Ashkari membedakan bahwa mukhtashar adalah pembuangan kalimat-kalimat lebihan yang tidak penting dari susunan kalimat yang digunakan penulis sebelumnya (baca, penulis teks awal yang akan diringkas) dengan tanpa mencederai makna-makna yang terkandung. Sedangkan ijaz hanya sebatas susunan kalimat yang ringkas tapi memuat makna banyak. Lawan dari ijaz adalah kalam itnab (kalimat yang disusuna secara panjang).
Sementara as-Syekh Ibrahim al-Bajuri memandang bahwa keduanya memiliki kedekatan makna; karena ikhtishar adalah membuang kalimat-kalimat yang diulang-ulang (repetitif) dan ijaz adalah membuang kalimat-kalimat yang disusun secara panjang (itnab). Keduannya memiliki titik persamaan yaitu membuang kalimat yang tidak dibutuhkan. Dan beliau cenderung menyamakan antara mukhtashar dan ijaz. Dianggap sebagai kata yang sinonim (muradif/beda kalimat satu makna), yaitu sedikit kalimat tapi mengandung makna yang luas.
Tujuan peringkasan atas kitab kuning yang panjang lebar uraiannya bertujuan agar naskah tersebut mudah untuk dihafat bagi pelajar yang berminant menghafal. Sebagaimana penjabaran yang luas bertujuan agar pembaca atau pelajar mudah dalam memahami.

2. Mabshuthat
Mabshuthat adalah menunjukkan bentuk kitab kuning yang mengandung keterangan dan penjelasan yang lebar dan dalam. Sering kali kitab kuning yang masuk kategori mabshuthat adalah kitab syarh (penjelasan) atau hasiyah (komentar), tapi juga tidak sedikit kitab matan termasuk ke dalamnya. Secara fisik, biasanya kitab yang termasuk mabshuthat adalah kitab yang kisaran dua jilid, seperti Hasiyah al-Bajuri, atau tiga jilid kitab.

3. Muthawwalat
Muthawwalat adalah bentuk kitab kuning yang mengandung penjelasan panjang-lebar dan mendalam. Secara fisik, kitab yang masuk kategori muthawwalat adalah kitab yang empat jilid seperti kitab I’anah at-Thalibin, sampai kitab yang puluhan jilid, seperti kitab al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzab yang mencapai 20 jilid, atau bahkan kitab yang ratusan jilid (tak terbatas).
Merupakan tradisi akademi tersendiri di kalangan ulama salaf as-shalih dalam cara penulisan KK yang menggunakan cara-cara yang saya istilahkan dengan bongkar-pasang dan buka-tutup yang tercermin dalam tradisi penulisan bentuk mukhtashar (peringkasan), mabshut, dan muthawwalat tersebut. Sebagai contoh kitab al-Mahalli ‘ala Minhaj at-Thalibin, karya Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, 396 halaman: diterbitkan dan dimaknai versi pesantren (bil ma’na ‘ala vesantryn) oleh al-Ma’had al-Islami as-Salafi Hidayatut Tullab Pondok Pesantren Petuk, Kec. Semen, Kab. Kediri; didapatkan di Pesantren Petuk. Kitab yang membahas persoalan fikih ini adalah kitab komentar dan penjelasan (syarh) atas kitab “Minhaj al-‘Abidin” karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (676 H.). Dan kitab “al-Mahalli ‘ala Minhaj at-Thalibin” ini juga dikomentari dan dijelaskan secara mendalam (hasiyah) oleh kitab “al-Qulyuby wa al-‘Umairah” sebanyak 4 jilid.
Kalau kita klasifikasikan bahwa kitab “Minhaj al-‘Abidin” adalah kitab mukhtashar, yaitu kitab yang ditulis secara ringkas, padat dan mencakup semua persoalan. Sebab kitab ini adalah ringkasan dari kitab “al-Muharrar Fi Furu’ as-Syafiiyah” karya Imam Aby al-Qashim ‘Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafii (623 H.). Sedangkan kitab “al-Mahalli ‘ala Minhaj at-Thalibin” tergolong kitab washit/ mabshuthat (ideal tidak panjang-lebar dan tidak ringkas). Sementara kitab “al-Qulyuby wa al-‘Umairah” adalah kitab muthawwalat (kitab yang mengandung keterangan dan penjelasan panjang-lebar), yang ditulis sebanyak 4 jilid.
Kita menjadi mafhum bahwa tipologi pemaparan KK yang ada tiga tersebut (mukhtashar, mabshuthat, dan muthawwalat) tidak bisa lepas dari tipologi penulisan KK (matan, syarh, hasiyah dan hawamisy) bahkan kedua jenis tipologi itu sering kali selaras dan seiring. Matan bisa dalam bentuk mukhtashar, mabshuthat atau muthawwalat, demikian juga syarh, hasiyah dan hawamisy. Cara penulisan erat kaitannya dengan cara penyampaian. Sebagaimana contoh kitab di atas.
Ketiga tipologi pemaparan Kitab Kuning tersebut (mukhtashar, mabshuthat, dan muthawwalat) diselaraskan dengan jenjang kelas pengajaran Kitab Kuning pada masa Islam klasik di Arab. Ada tiga jenjang pada masa Islam klasik di Arab dalam mengajarkan Kitab Kuning sebagaimana tiga tipologi Kitab Kuning. Pertama, Ibtidaiyyah (pelajar pemula). Mereka adalah pelajar yang belum mampu menggambarkan dan mengartikulasikan masalah, dan mempelajari kitab-kitab kecil. Karena itu, mukhtashar adalah Kitab Kuning yang diperuntukkan para pelajar jenjang Ibtidaiyyah.
Kedua, Mutawasshith (pelajar kelas pertengahan). Mereka adalah pelajar yang sudah mampu menggambarkan dan mengartikulasikan masalah, tapi belum mampu memilih-memilah dan menetapkan dalil-dalil sebagai argumentasi penguat atas masalah yang diartikulasikannya, dan mempelajari kitab-kitab yang berukuran sedang (tidak ringkas dan tidak panjang lebar/ mabshuthath). Karena itu, Mabshutahat adalah jenis Kitab Kuning yang diperuntukkan para pelajar jenjang mutawasshith (midle clash).
Ketiga, Muntaha (pelajar tingkat akhir). Pelajar tingkat akhir adalah pelajar yang memiliki kemampuan untuk menggambarkan dan mengartikulasikan masalah, serta menetapkan dalil-dalil yang menguatkan argumentasi masalah yang dirumuskan. Mereka mempelajari Kitab Kuning yang berukuran muthawwalat (Kitab yang mengandung keterangan panjang dan lebar).
Jika ada seorang yang melampaui level muntaha (pelajar tingkat akhir), dimana ia bukan sekedar memiliki kapabilitas mengartikulasikan dan menetapkan dalil atas argumentasi sebuah masalah, tapi juga mampu menyeleksi dan men-tarjih segenap pluralitas pendapat para ulama serta memastikan pendapat siapa yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada, maka ia tergolong pada level mujtahid fatwa. Seperti Imam an-Nawawi dan ar-Rafii.
Barang siapa yang memiliki kapabilitas me-nalar dengan penalaran filosofi hukum Islam (istinbath al-ahkam) atas segenap persoalan-persoalan yang beragam dan bercabang-cabang (furu’) yang bertendensi pada kaidah-kaidah dasar Imam pendiri Madzhab seperti Imam as-Syafii, maka ia masuk pada kategori mujtahid madzhab. Sedangkan seseorang yang mampu menggali hukum langsung kepada al-Quran dan hadits dengan penalaran filosofi hukum (istimbath al-ahkam) hasil penemuannya sendiri maka ia tergolong mujtahid mutlak. Dan jenjang ini adalah jenjang paling tinggi dalam tradisi akademi Islam klasik di Arab, setidaknya di kalangan ahli fikih.
Jenjang semacam itu adalah sebuah keniscayaan dan bahkan fitrah manusia. Sebab kemampuan dan kapasitas keilmuan masing-masing orang berbeda-beda dan berjenjang. Dan Allah Ta’ala sendiri berfirman bahwa: wa fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim (ada orang yang lebih pandai di atas orang cerdik pandai). Pepatah mengatakan bahwa “di atas langit ada langit”.
Menjadi musykil (problematik), jika pintu ijtihad diklaim telah tertutup. Dikatakan musykil, sebab telah menyumbat kreatifitas penalaran rasio yang telah dianogerahkan Tuhan kepada manusia dan mengingkari fitrah. Tuhan memberikan fitrah kapasitas keilmuan manusia yang berjenjang.


C. KERANGKA PENULISAN KITAB KUNING ISLAM-ARAB

Jika kita merujuk pada keterangan salah satu Kitab Kuning yang dianggap mu’tabarah (dipercaya dan digunakan oleh kalangan santri), yaitu kitab Hasiyah I’anah at-Thalibien, dan ditambah dengan keterangan pendukung dan pelengkap dari kitab-kitab yang lainnya, yang menjelaskan kerangka penulisan Kitab Kuning, khususnya Kitab-Kitab fikih, meliputi sebagai berikut:

Kitab
Kitab menurut arti kebahasaan adalah kumpul dan mengumpulkan (bisa juga diartikan kodivikasi). Sedangkan kitab menurut epistemologi adalah nama bagi susunan tertentu yang mencakup bab-bab, fasal-fasal, furu’ (cabang-cabang) dan masalah-masalah pada umumnya. Kitab juga di dalamnya mencakup tanbih (peringatan), titimmah (penyempurnaan), dan khatimah (penutup).

Muqaddimah (Pendahuluan)
Akan tetapi sebelum kitab, biasanya terdapat mukaddimah (pendahuluan) penulis. Pendahuluan di dalamnya pada galibnya berisi pujian dan sanjungan mulia serta mengagungkan Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang. Shalawat dan salam yang disampaikan kepada baginda Rasulullah. Kemudian penulis menjelaskan secara singkat apa yang akan dibahas dan dijelaskan dalam karyanya. Tidak jarang pula penulis menjelaskan latar belakang dan tujuan penulisan karyanya. Seperti latar belakang adanya permintaan dari para santri dan sahabat agar penulis membuat karya yang bisa bermanfaat bagi mereka. Atau tujuan penulisan, seperti menulis karya mukhtashar (ringkasan) yang bertujuan agar pelajar dan pembaca mudah memahami dan menghafalkannya.

Bab
Arti bab menurut etimologi (kebahasaan) adalah celah atau lubang sesuatu yang tertutup sehingga membuka dan bisa menembus langsung dari dalam ke luar. Dengan kata lain bab menurut arti kebahasaan adalah pintu. Sedangkan bab menurut epistemologi yang berlaku di kalangan ulama adalah sebuah nama bagi sebuah susunan tertentu yang menunjukkan makna tertentu yang galibnya mencakup fasal-fasal, cabang-cabang (furu’), dan masalah-masalah.

Fasal
Fasal menurut etimologi adalah sesuatu yang memisahkan di antara kedua sesuatu. Sedangkan menurut epistemologi adalah nama susunan tertentu yang ghalibnya mencakup cabang-cabang (furu’) dan masalah-masalah.

Far’
Far’ (cabang) menurut etimologi adalah sesuatu yang dibangun di atas sesuatu yang lainnya. Far’ (cabang) lawan kata dari asal (pondasi) yang artinya sesuatu yang dimana sesuatu yang lain (far’) dibangun di atasnya. Sedangkan far’ menurut epistemologi adalah nama bagi susunan tertentu yang galibnya hanya mencakup masalah.

Masalah
Masalah menurut kebahasaan adalah pertannyaan. Sedangkan masalah menurut epistemologi adalah penjelasan yang dituntut untuk disampaikan kepada pembaca dengan argumentasi yang kuat dan berbobot dalam konstruksi wacana tentang suatu persoalan.

Tanbih (Peringatan)
Tanbih menurut arti kebahasaan adalah mengingatkan. Sedangkan menurut epistemologi adalah mengingatkan pentingnya sebuah keterangan yang ada di dalam terma tanbih itu, dengan memberikan suntikan bantuan pembahasan dan penjelasan yang lebih tajam atas masalah yang sudah dibahas sebelumnya yang dalam tataran pemahaman masih gelobal. Dengan kata lain, pembahasan yang masih gelobal dikerucutkan dan difokuskan dalam pembahasan yang terdapat di dalam terma tanbih.

Titimmah (Penyempurna)
Kalimat titimmah sering kali ada di dalam Kitab Kuning, khususnya Kitab Kuning yang termasuk ke dalam kategori syarah atau hasiyah. Tapi tidak senantiasa di setiap Kitab Kuning terdapat titimmah. Arti kebahasaan kalimat titimmah adalah penyempurnaan. Karena itu, kalimat titimmah adalah penjelasan atau keterangan yang berfungsi untuk menyempurnakan keterangan yang terdapat di dalam sebuah kitab atau bab.


I’lam (Ketahuilah)
Terma i’lam adalah kalimat perintah dari sang penulis kepada sang pembaca, yang artinya “ketahuilah”. Perintah ini adalah sebuah indikasi adanya keterangan dan penjelasan yang dianggap penting dan signifikan untuk diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Sering kali terma i’lam berisi permasalahan aktual yang dapat dikutip dan diadopsi bagi pembaca kontemporer untuk menjawab problematika kekinian.

Khatimah (Penutup)
Terma khatimah menurut arti kebahasaan adalah akhir sesuatu. Dan menurut epistemologi adalah nama bagi susunan pembahasan tertentu yang diperuntukkan untuk diletakkan di akhir kitab atau bab.


II. TIPOLOGI REPRODUKSI KITAB KUNING ISLAM-INDONESIA

Kitab Kuning bagi kalangan santri dan komunitas NU bagaikan sumur pengetahuan yang tidak pernah kering, dan tanpa ada habisnya jika ditimba dan dinikmati airnya. Kajian terhadap kitab kuning cukup dinamis. Kitab Kuning tak kenal lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Para ulama, kyai, santri dan komunitas Nahdliyyah terus menjaga, merawat, mengkajinya tak kenal masa, dan selalu memodifikasi bentuk Kitab Kuning. Upaya pemodifikasian Kitab Kuning adalah wujud dinamisasi. Di bawah ini kami akan melacak bentuk-bentuk modifikasi dan dinamisasi Kitab Kuning (turats) yang ada di Indonesia.

a. Penggandaan Percetakan dan Penerbitan Berdasarkan Naskah Asli Berbahasa Arab
Penggandaan fisik Kitab Kuning dengan melalui pencetakan ulang dan penerbitan dalam negeri seperti Thaha Putra-Semarang, al-Hidayah-Surabaya dan luar negeri seperti Dar al-Fikr, Dar Ihya lit-Turats dan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah (Beirut) dalam semua disiplin ilmu masih eksis di pasaran. Penggemar setia Kitab Kuning adalah dari kalangan santri dan pesantren. Bahkan sebagian Pesantren yang memiliki perekonomian yang cukup dalam beberapa bentuk Kitab Kuning dicetak dan diterbitkan sendiri, seperti Pesantren Sidogiri-Pasuruan yang memiliki percetakan sendiri berkat sokongan dan suntikan dana dari KOPONTREN yang cukup maju. Dan ada juga sebagian bentuk reproduksi Kitab Kuning yang menjadi materi pelajaran internal pesantren seringkali dicetak dan diterbitkan sendiri dan terkadang tidak dijual-belikan secara bebas, dengan kata lain hanya didapatkan di kantor Madrasa dan Pesantren seperti Madrasah Hidayatul Mubtadiin di PP. Lirboyo dan Madrasah Ghazaliyah-Syafi’iyyah di Sarang.
Selama di Indonesia masih ada Pesantren maka selama itulah Kitab Kuning tetap ada dan eksis. Tidak berlebihan jika Kitab Kuning (di)identik(kan) dengan Pesantren lantaran Kitab Kuning diposisikan sebagai panduan yang membentuk cara pandang, pola pikir religiuitas, pemecahan masalah (problem solving/ hil) dan gaya hidup bagi kalangan Pesantren.

b. Taqrirat (kalimat Mashdar) atau muqarrarat (kalimat Isim Maf’ul), takrir, dan tahrir. Kitab Kuning sebagai kurikulum tetap di seluruh pesantren yang berhaluan tradisional, Ahlussunnah Wal Jawa’ah dan Nahdliyyah
Ada tiga terma yang digunakan oleh kalangan pesantren yang berbeda dalam terminologi (khilaf lafdzi) tapi dalam esensinya memiliki titik persamaan. Pertama, taqrir, yang arti kebahasaannya adalah keterangan, statemen, dan laporan. Taqrir digunakan di Pondok Pesantren-Pondok Pesantren di Jawa Timur, seperti Lirboyo dan Ploso. Jika kita melihat proses penulisan kitab versi taqrir, maka kitab akan merasakan betapa tepatnya kitab itu dinamakan dengan kitab taqrir. Sebab proses kitab versi taqrir dengan menyuguhkan teks matan atau teks nadzam karya ulama salaf as-shalih dan kemudian diterangkan dengan statemen orisinil sang figur kyai atau ustadz-ustadz senior sebagai asistensi kyai, setelah selesai hasilnya dilaporkan atau diajarkan kepada para santri-santri sesuai dengan tingkatan dimana kitab itu diajarkan dan dipelajari.
Kedua, takrir, yang arti kebahasaan yaitu pengulangan dan klarifikasi. Terma takrir digunakan di Pondok Pesantren Tegalrejo-Magelang. Terma takrir pun sesuai dengan prosesnya. Dimana kitab versi takrir adalah kitab yang diajarkan di kelas-kelas Madrasah yang ada di dalam pesantren secara berulang-ulang setiap hari, dan di dalam kitab itu berisi klarifikasi keterangan. Artinya sebuah kitab yang di dalamnya terdapat keterangan yang ditulis kyai atau ustadz demi meng-klarifikasi pemahaman agar para santri dan pelajar mendapatkan pemahaman yang tepat dan benar.
Ketiga, tahrir, yang arti kebahasaan ialah penulisan, editing, dan pembebasan. Terma tahrir digunakan di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin-Cirebon. Terma tahrir pun tepat untuk digunakan jika kita lenelisik proses penulisan dan tujuan kitab itu dibuat. Jelas bahwa kitab itu berawal dengan ditulis naskah dasarnya (matan atau nadzam), kemudian diedit agar bisa difahami; sebagaimana lazimnya proses editing yaitu dengan mengurangi atau menambah keterangan yang dibutuhkan yang bertujuan membebaskan teks atau naskah dari belenggu al-la mafhuma fihi (tidak bisa difahami) atau meminjam istilah Mohammed Arkoun dengan al-la mufakkar fihi, menuju naskah yang bisa difahami dengan benar dan jelas.
Menjadi jelas bahwa ketiga terma tersebut mengandung makna yang berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama. Dan perbedaan arti atau makna itu mencerminakan perbedaan proses penulisan dan tujuan dari bentuk kitab yang dimaksudkan. Ibarat air, proses mengalirnya berbeda-beda dan melewati anak-anak sungai yang beragam dan sampai pada hulu (tujuan) yang sama.
Taqrir, takrir atau tahrir adalah sebentuk mata pelajaran Kitab Kuning yang ditulis oleh seorang figur Kyai atau tim kreatif dari kalangan ustadz-ustadz senior yang ditunjuk sang Kyai karena kapabilitas dan kredibilitas keilmuannya. Penulisan itu diselaraskan dengan idealisme dan kebutuhan yang berlandaskan etika dan pola penulisannya ala Kitab Kuning dengan mengutip dan mengadopsi Kitab-Kitab yang memiliki korelasi dengan materi yang ditulis. Seperti taqrir Alfiyah Ibnu Malik yang berisi 1002 bait nadzlam yang menguraikan disiplin ilmu gramatika Arab (Nahwu) ditulis dengan disertai penjelasan dan uraian oleh figur Kyai atau tim kreatif (asistensi kyai) dimana penjelasan itu disarikan dan diadopsi dari kitab-kitab yang telah mengomentari (syarah) seperti Syarh Ibnu ‘Aqil, Dakhlan, al-Hudlari, Hasyiyah as-Subban dan al-Asymuni. Pengadopsian dari kitab syarah disesuaikan dengan kebutuhan subyektifitas sang Kyai yang menggunakan setandarisasinya sendiri sehingga meskipun kita telah menjumpai disegenap Pesantren terdapat salah satu kitab seperti Alfiyah Ibnu Malik sebagai mata pelajaran akan tetapi uraian dan penjelasannya berbeda satu Pesantren dengan Pesantren yang lain. Semisal, uraian dan Penjelasan Alfiyah Ibnu Malik versi PP. Lirboyo berbeda dengan uraian dan penjelasan veri PP. Al-Falah Ploso, meski inti dan tujuannya sama—tapi tetap tidak bisa dipungkiri kalau satu versi lebih luar, lugas dan jelas dan versi yang lain lebih simpel dan ringkas. Taqrirrat (yang diistilahkan oleh kalangan Santri) atau muqarrarat (istilah yang berkalu di Timur-Tengah) adalah salah satu kreatifitas dan inovasi Kitab Kuning yang dilakukan kalangan Santri dan Kyai sebagai motor penggeraknya.
Seperti al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Faraidl al-Bahiyyah, karya Muhibbul Aman bin Ali Baqir adalah salah satu bentuk kitab kuning versi taqrir. Sebuah karya sang kyai muda Pondok Pesantren Besuk-Pasuruan, yaitu KH. Muhibbul Aman, dengan menjelaskan dan mengomentari (syarh) atas salah satu kitab kuning karya ulama salaf as-shalih, yaitu al-Faraidl al-Bahiyyah.
Meski Pesantren tetap mempertahankan metode dan cara pembelajaran versi tradisional seperti Bandungan dan Sorogan, ia juga dimodifikasi sedemikian rupa dengan ditambahkan satu cara pembelajaran yang relatif baru, yaitu sistem Klasikal dan Sekolahan yang meniscayakan jenjang. Dan taqrirat, takrir atau tahrir adalah reproduksi Kitab Kuning khusus untuk sistem Klasikal (sekolah/Madrasah) tersebut.

c. Penulisan kitab kuning tematis
Demi mempermudah para pembaca dan peminat Kitab Kuning dalam melacak segenap persoalan yang begitu kompleks dan tema yang sangat beragam, maka sebagian ulama dan Kyai berinisiatip mengumpulkan (jam’u) ‘ibarat (keterangan dan uraian) dari Kitab Kuning dan diadopsi serta dikutip (nuqil) yang dirasa signifikan (maghza) kemudian dialokasikan dan diklasifikasikan sesuai dengan tema dan judul yang telah ditentukan sebelumnya.
Model semacam ini telah direalisasikan secara maksimal oleh KH. Ahmad Yasin bin Asymuni seorang ulama Kediri yang produktif menulis dengan sistem tersebut. Karyanya mencapai 138 judul. Dan di antaranya yaitu Risalah as-Shiyam; 94 halaman, Dar al-Barzakh; 48 halaman, Syuruh Alfadz as-Shalawat; 48 halaman, Hikayatul al-‘Ibarat; 34 halaman, Hikayah al-‘Ashin; 35 halaman, al-Basmalah min Jihhati Funun al-‘Ilmi; 31 halaman, Fadlail ad-Dzikr; 46 halaman, Tashliyah Ahli al-Mashaib; 33 halaman, As-Syayathin wa ‘Ibadillah; 31 halaman, As-Syayathin wa al-Anbiya’; 35 halaman, dan masih banyak lagi yang tidak kami cantumkan di sini.
Setelah keterangan dan penjabaran Kitab Kuning disajikan secara tematis maka para pembaca tinggal melihat menu tema-tema Kitab Kuning yang telah ada dan siap saji (instan), kemudian menentukan dan merasakan sesuai selera dan kebutuhannya.

d. Ta’liq (Penjelasan naskah) Kitab Kuning
Kita tahu bahwa karakteristik unik Kitab Kuning adalah diantaranya dalam bentuk penulisannya yang kuno dengan tanpa ada tanda baca (pungtuasi) seperti titik, koma dan kaidah penulisan setandar modern. Kalau kita menelisik lebih jauh bahwa penulisan semacam ini ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya (positif) adalah guna melatih dan mendidik agar para pembaca mampu menganalisa tanda baca secara mandiri selaras dengan gramatika Arab (Nahwi dan Sharaf). Tanda baca dengan sendirinya terbentuk dalam benak pemahaman sang pembaca yang berbelak penguasaan gramatika Arab. Alih-alih Kitab Kuning sebagai lahan (obyek) aplikasi atas gramatika Arab yang dikuasainya. Akan tetapi bagi sebagian kalangan yang “agak lemah” pengetahuan gramatika Arab-nya merasa kesulitan dan menganggap kitab kuning sebagai kitab yang rumit. Karena itulah sebagian ulama Indonesia menanggap gejala semacam itu dan memberikan jawaban dan penyelesaian (problem solving) dengan men-ta’liq Kitab Kuning sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. KH. Sahal Mahfudz seorang pakar fikih dan ushul fikih yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa. Ada beberapa karya ta’liq yaitu, (1). Thariqah al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul (komentar dan penjelasan atas karya as-Syekh al-Islam Aby Yahya Zakarya al-Anshari as-Syafi’i), diedit oleh ‘Ali Haidar dan Imam Ghazali Sa’id, Surabaya, Diyantama, cet. I, 2000 M., 640 halaman, (2). Anwar al-Bashair fi Ta’liqat al-Asybah wa an-Nadzlair (komentar atas karya Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Aby Bakar as-ShuyutiI, tanpa nama penerbit, dua jilid: jilid ke-I = 1-263 halaman dan jilid ke-2 = 264-522 halaman.
Ta’liq menurut kebahasaan berarti pemberian catatan atas kitab tertentu, komentar, ulasan, atau kritik. Kenyataan bahwa ta’liq merupakan penjelasan yang mengungkap kedudukan kalimat menurut kaca mata gramatika Arab, memberikan catatan dan komentar pendek atas beberapa poin-poin penting yang ada dalam kitab.
Ada perbedaan antara ta’liq dan syarh. Ta’liq adalah penjelasan dan komentar hanya saja sebatas pada ruang lingkup apa yang terkandung di dalam teks tanpa dijabarkan dan diperluas dengan komentar serta wawasan baru. Sedangkan syarh adalah penjelasan dan komentar yang sangat luas dengan mengkolaborasi segenap wacana yang terkandung di dalam- di luar teks, konteks, dan bahkan mengungkap berdebatan serta warna-warni pendapat para ulama.

e. Kitab Kuning dicetak dan diedarkan dengan disertai makna gondrong a la Pesantren (bi ma’na ‘ala fesantrin)
Kitab Kuning bermakna gondrong versi Pesantren merupakan fenomena baru. Sebab sebelumnya Kitab Kuning disuguhkan dalam keadaan kosong tanpa makna (gundul) guna dijadikan sarana belajar para santri dengan me-makna-inya secara teliti dan komprehensif langsung dari pembacaan sang guru (kyai atau ustadz). Reproduksi Kitab Kuning yang disertai makna gondrong tersebut diawali oleh KH. Ahmad Yasni Asymuni seorang ulama Petuk-Kediri bersama santri-santri seniornya dengan mencetak dan diterbitkan al-Ma’had al-Islami as-Salafi Hidayatut Tullab Pondok Pesantren Petuk, Kec. Semen, Kab. Kediri, yang sampai detik ini (baca, ketika penulis mengadakan penelitian langsung) Kitab Kuning yang berhasil diberi makna versi Pesantren mencapai 302 judul, yang meliputi Kitab Kuning karya-karya ulama salaf as-shalih sebanyak 164 judul dan ditambah dengan karya-karya pribadi KH. Ahmad Yasin Asymuni sebanyak 138 judul; dan seorang Ustadz yang mengabdikan dirinya di PP. Lirboyo sampai usianya 40 tahun lebih yaitu Ustadz Ahmad Fauzan asal Cirebon dengan memphotocopy Kitab Kuning yang telah dimaknainya. Bahkan sebelum cetakan Petuk beredar, terlebih dahulu produk Ustadz Ahmad Fauzan telah beredar di kalangan terbatas. Fenomena semacam ini dipicu oleh semakin banyaknya para ustadz dan bahkan kyai yang hendak membacakan Kitab tertentu kepada para santri, murid dan masyarakat tapi tidak memiliki makna yang komprehensif, bolong-bolong, dan tidak jelas. Sehingga dengan adanya makna mereka yang membutuhkan merasa sangat terbantu. Sebagian ustadz dan kyai menjadikannya sebagai pembanding (muqabalah) atas Kitab yang telah dimaknainya sendiri.
Kitab Kuning bermakna gondrong tersebut menjadi kontroversial di kalangan Pesantren. Sebab ada sebagian kyai yang tidak setuju dan sampai melarang (mengharamkan) para santri yang membeli dan membacanya. Ada beberapa alasan sebagai dasar kenapa mereka melarang, di antaranya (1). Mengakibatkan para santri malas dan tidak mau ngaji dengan memaknai Kitab, (2). Dianggap sebagai Kitab Kuning yang tanpa sanad guru, karena semua ilmu harus ada gurunya, (3). Tidak berkah.
Sebagian kyai dan ustadz mendukung dan menganjurkan adanya Kitab bermakna gondrong itu dengan alasan dan argumentasinya sendiri begitupun sebagian kalangan yang tidak setuju atas dasar pertimbangannya sendiri. Dan bagi kami kedua pendapat tersebut bisa diakomodir dengan mengatakan bahwa selama Kitab semacam itu bermanfaat bagi para ustadz dan kyai untuk sekedar sebagai pembanding dan koreksi atau karena darurat terpepet didesak oleh masyarakat atau tiba-tiba saja dinobatkan menjadi penerus Bapaknya yang sebagai kyai maka Kitab sangat bagus dan signivikan. Tapi cukup mengkhawatirkan dan harus diwaspadai jika oleh para santri yang masih junior-amatir (pemula) dijadikan tujuan, lantaran bukan karena sekedar membikin malas tapi akan menghilangkan tradisi baca Kitab Kosongan yang selama ini dianggap oleh kalangan Pesantren sebagai barometer kesuksesan seorang santri.
Lepas dari pro-kontra di atas. Kehadiran Kitab Kuning versi makna gondrong tersebut perlu diapresiasi karena merupakan salah satu bentuk inovasi dan kreatifitas kalangan Pesantren yang tak perlah lelah memodifikasi Kitab Kuning.


f. Kitab Kuning Ditulis Dengan Disertai Anotasi Dalil-dalil al-Quran, al-Hadits dan Istinbath (Nalar Filosofi Hukum)
Karakteristik Kitab Kuning dalam disiplin ilmu fikih adalah sebentuk penjelasan, uraian tentang segenap hukum, tata cara, syarat dan rukun di setiap bab tanpa disertakan dalil-dalil al-Quran dan Hadits sebagai landasan-pijakan, serta tanpa dijelaskan nalar filosofi hukum di balik statemen dan uraian. Kita langsung menangkap kesan bahwa Kitab fikih adalah buku kodivikasi fatwa-fatwa para ulama yang terkadang berselisih dan berbeda pandangan yang oleh penulis tanpa dicantumkan dalil dan sistem nalar yang digunakan. Sebagian kalangan santri merasa tidak puas hanya mengkonsumsi produk hukum instan semacam itu. Mereka berusaha melacak dalil-dalil al-Quran, Hadits dan menganalisa pola nalar filosofi (ushul) segenap penjabaran dan bagaimana statemen yang ada di dalam Kitab Kuning dikonstruksi.
Sebagaimana yang telah diupayakan oleh Majlis at-Thalabah (Majlis atau Tim Para Siswa) Madrasah al-Ghazaliyah as-Syafi’iyah Sarang-Rembang Jawa Tengah. Mereka telah berhasil melacah dalil-dalil al-Quran, al-Hadits dan nalar ushuli yang terdapat dalam naskah (Matan) Kitab “Qurratul al-‘Ain” karya as-Syekh Zainuddin bin ‘Abdul al-‘Aziz al-Malibari dan diberi tajuk “Tharraz al-Mutaqaddimin” diterbitkan oleh Majlis at-Thalabah Madrasah al-Ghazaliyah as-Syafi’iyah Sarang-Rembang Jawa Tengah, 1422-1423 H..
Kitab “Qurratul al-‘Ain” karya as-Syekh Zainuddin bin ‘Abdul al-‘Aziz al-Malibari adalah Kitab yang banyak mendapatkan perhatian dan penjelasan lebih lanjut oleh para ulama setelahnya. Diantara Kitab yang mengomentari (syarh) dan memberikan penjelasan lebih lanjut adalah Nihayatu az-Zein karya Imam an-Nawawi Tanara-Banten dan Kitab Fathal Mu’in yang kemudian dikomentari panjang lebar oleh as-Sayyid ab-Bakri bin as-Sayyid Muhammad Syatha Dimyathi dengan tajuk “I’anah at-Thalibih” 4 jilid, dan oleh as-Sayyid ‘Alawi Ahmad as-Saqqaf dengan tajuk “Tarsyikh al-Mustafidin”. Dan sebagian besar Pondok Pesantren menggunakannya sebagai salah satu mata pelajaran. Begitu sentralnya Kitab itu yang akhirnya cukup relevan jika Kitab itu dilacah dan dijelaskan dalil-dalil dan argumentasinya sebagaimana yang diupayakan Para siswa Madrasah al-Ghazaliyah as-Syafi’iyah Sarang.

g. Kitab Kuning yang Ditulis dengan Dibuat Bait-Bait Syair atau Nadzlam
Kitab Kuning yang ditulis secara formal dan naratif, atau ditulis dengan kaidah biasa dan datar sering kali para pelajar (santri) merasa kesusahan jika hendak menghafalkannya. Akhirnya di-nadzlam-kan agar mudah dihafal. Sebab nadzlam memiliki nada, intonasi, not-not, dan lagu sehingga pelajar yang hendak menghafal merasa nyaman dan rileks ketika menghafal. Seperti bernyanyi.
Adalah Mendiang KH. A. Sanusi, salah satu kyai kharismatik Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin-Cirebon menulis secara kreatif tentang berbagai hal seperti tentang etika, teologi (tauhid) dan tasawuf dengan menggunakan bait-bait nadzam (syair). Sebagian bait-bait nadzam (syair) berbahasan Jawa Krama Cirebon, dan sebagian bait-bait syair berbahasa Indonesia. Ratusan syair (nadzam) yang ditulis dan diajarkan kepada para santrinya. Dan sampai sekarang nadzam-nadzam tersebut diabadikan, diajarkan dan para alumnus angkatan pertama pun masih banyak yang mengenang dan hafal nadzam-nadzam tersebut.

h. Terjemah Kitab Kuning Ke Bahasa Jawa atau Indonesia
Jauh sebelum industrialisasi dan komersialisasi Penerjemahan yang semarak dan ramai dilakukan para pembisnis dan para akademisi dengan berbagai macam nama penerbitan yang telah bermunculan bak Jamur di musim hujan, kalangan santri (yang disebut kaum Sarungan) telah melakukannya dan sampai saat ini tradisi penerjemahan Kitab Kuning baik ke dalam bahasa Jawa maupun Indonesia masih tetap dilestarikan. Melangkah lebih maju, saat ini kaum Santri bukan sekedar menerjemah Kitab Kuning sebagai kekayaan warisan khazanah Islam klasik an sich, tapi juga menerjemahkan Kitab (buku) yang ditulis oleh ulama kontemporer yang dianggap sefaham dan sehaluan dalam paradigma fikih dan teologinya.

i. Tahqiq at-Turats yang Dilaksanakan oleh Departemen Agama (DEPAG)
Departemen Agama (DEPAG) memberikan terobosan yang sangat bagus dan konstruktif bagi dinamika Kitab Kuning di Indonesia. Yaitu merealisasikan program tahqiq at-Turats (mengedit dan menulis ulang kitab kuning secara benar dari manuskrip asal) atas karya-karya Ulama Nusantara. Nilai lebih yang tidak bisa dipungkiri besarnya adalah menjaga dan melestarikan kekayaan khazanah klasik Islam Indonesia (Nusantara). Di antara Kitab Kuning yang di-tahqiq adalah Tanqiyah al-Qulub fi Ma’rifah ‘Allam al-Ghuyub, karya as-Syekh Muhammad ‘Aidrus Qaimuddin bin Badruddin al-Betawi, yang di-tahqiq oleh ‘Abdullah Adieb Masruhan; Jauhar al-Haqaiq, karya as-Syekh Syamsuddin bin ‘Abdullah as-Sumatrani, di-tahqiq oleh Toto Edidarmo MA.; Kitab Dzliya an-Nur fi Tashfiyah al-Akdar, karya Muhammad ‘Aidrus Qaimuddin Ibnu Badruddin al-Batuni, di-tahqiq oleh Imam Sya’rani; Tahsin al-Aulad fi Tha’ati Rabb al-‘Ibad, karya as-Sulthan Muhammad ‘Aidrus bin as-Sulthan Badruddin al-Bathani, di-tahqiq oleh Muhammad ‘Isham as-Sakhi; Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’mini, karya as-Syekh ‘Abdus Shamad al-Jawi al-Falimbani, di-tahqiq oleh Ahmad Uthfi; dan masih banyak lagi karya-karya yang lain yang telah dan sedang di-tahqiq. Dan mestinya program ini tetap dijaga bisa dengan me-tahqiq ulang jika dirasa perlu dan jika ada sisi-sisi kekurangan dan bila perlu ditradisikan.
Secara kebahasaan, tahqiq berarti penetapkan, pemantapan, identifikasi, penelitian, penggalian, dan membenarkan sesuatu. Pelaku tahqiq adalah muhaqqiq (pen-tahqiq). Dan obyek yang di-tahqiq (kitab atau buku) adalah muhaqqaq (obyek yang di-tahqiq). Sedangkan meurut istilah para pakar, tahqiq bila ditujukan kepada makhthutat (manuskrip) atau buku berarti menghadirkannya agar mudah dibaca halayak umum, dalam bentuk seperti yang diinginkan oleh penulisnya atau mendekati itu. Selain menghadirkan teks penulis dalam keadaan benar, muhaqqiq (pelaku tahqiq) juga memberikan penjelasan terhadap teks tersebut agar mudah difahami.
Sejatinya tahqiq tidak terbatas pada makhtuthat (manuskrip) an sich, tapi juga pada kitab yang telah dicetak. Sebab sering kali terjadi kesalahan dalam kitab-kitab cetakan yang berasal dari manuskrip, terutama ketika menyalin pertama kali. Dengan kata lain, “kutub al-muhaqqaq yahtaj ila tahqiq” (kitab yang ditahqiq masih butuh untuk ditahqiq kembali).

j. Memberikan Gambar Foto Di Dalam Kitab Kuning
Masyarakat Islam yang ada di Indonesia sering kali dikejutkan dengan istilah yang aneh lantaran mereka tidak bisa meraba dan menggambarkan (tashwwur) beberapa sesuatu yang terdapat dalam penjelasan Kitab Kuning, sebab tidak bisa dipungkiri setting sosio-kultural, sosio-ekonomi dan sosio-politik Arab (baca, lebih sepesifiknya Arab klasik abad tengah) sangat mewarnai dalam segenap tulisan Kitab Kuning. Sehingga Muslim yang bukan Arab atau yang belum pernah ke Arab sering diselimuti rasa penasaran, seperti apa sih muzah, Ka’bah, dll. PP. Sidogiri akhirnya berinisiatif mencantumkan gambar foto segenap benda, barang dan buah-buahan yang tidak ada di Indonesia ke dalam suatu Kitab Kuning seperti karya Muhammad bin Qasim bin Muhammad bin Muhammad as-Syamsul al-‘Izzi, Fathul Qarib al-Mujib, diperkaya dengan gambar, Pasuruan, Pustaka Sidogiri, 2009 M., 206 halaman. Bahkan memberikan penjelasan dengan bahasa kekinian yang difahami Muslim sekarang jika ada ukuran kualitatif dan kuantitatif yang terdapat dalam Kitab tersebut.



k. Kumpulan Bahtsul Masail
Kitab Kuning dijadikan sebagai jawaban dan problem solving (jalan keluar) atas segenap problematika keagamaan dan sosial masyarakat Muslim di Indonesia. Kumpulan Bahtsul Masail sebagian ditulis dengan bahasa Arab seperti Ahmad Sahal Mahfudz al-Hajini, Intifah al-Wadijayn ‘inda Munadzlarah ‘Ulama Hajin i Riwayah al-Mabi’ bi-Zujaj al-‘Ainayn, yang menjelaskan perdebatan ulama Kajen-Pati, Jawa Tengah tentang suatu masalah yang dibahas dalam bahsul masail dan Muhyiddin bin ‘Abdus Shamad dengan al-Hujaj al-Qathi’ah. Sedangkan sebagian besar kumpulan bahsul masail ditulis dengan bahasa Indonesia akan tetapi keterangan yang dikutip langsung dari Kitab Kuning dengan menggunakan bahasa Arab orisinil.
Kerangka penulisan kitab atau buku yang berisi kodivikasi bahsul masail sebagai berikut:

a. Latar belakang (kronologi) masalah
b. Masalah yang dipertanyakan hukumnya
c. Jawaban hukum
d. ‘Ibarat (keterangan penting yang dikutip langsung dari Kitab Kuning) sebagai dalil dan argumentasi jawaban hukum yang telah ditetapkan

Galibnya, ‘ibarat ditulis apa adanya kutipan langsung dengan berbahasa Arab, dengan dicantumkan judul kitab yang dikutip beserta halamannya, tanpa menyebutkan nama penulis dan penerbit. Dan juga tanpa ada penjelasan bagaimana proses hukum itu dirumuskan. Atau proses bahsul masail penetapan hukum tidak dicantumkan dalam buku. Atau bahkan keterangan yang dikutip pun tidak disertakan terjemahan bahasa Indonesianya.
Akan tetapi ada satu naskah kumpulan bahsul masail yang keterangan dari kitab kuning (‘ibarat) dikutip langsung berbahasa Arab disertakan dengan terjemahnya. Sehingga para pembaca yang tidak memiliki kemampuan mengakses kitab kuning kalngsung, maka mereka bisa mengakses lewat terjemahannya. Seperti kumpulan bahsul masail NU dari tahun 1926-2004 M., yang diberi judul Ahkam al-Fuqhaha SOLUSI Problematika Aktual HUKUM ISLAM Kumpulan Muktamar, Munas, dan Konbes NAHDLATUL ULAMA (1929 – 2004 M.), yang diterbutkan oleh LTN NU Jawa Timur dan Khalista, Surabaya, cet. III, 2007, 743 halaman.


l. Kumpulan ‘Ibarat
‘Ibarat adalah istilah yang biasa digunakan para santri di kalangan pesantren untuk menunjukkan sebuah keterangan-keterangan penting yang terdapat di kitab kuning. Para santri yang aktif di forum Bahsul Masail, memiliki kultur yang cukup positif dan kreatif yaitu memiliki buku catatan pribadi untuk mengumpulkan keterangan-keterangan penting yang terdapat di Kitab Kuning dan dicatatnya dengan rapih dengan disertakan judul kecil yang diselaraskan isi substansi keterangan-keterangan tersebut. Keterangan-keterangan penting tersebut diistilahkan dengan ‘ibarat atau ta’bir.
Pengumpulan ‘ibarat tersebut dipicu dan dimotivasi oleh situasi dan kondisi Bahsul Masail yang menuntut untuk pesertanya selalu siap dengan koleksi ‘ibarat-‘ibarat yang dibutuhkan di ajang adu argumentasi. Karena letak kekuatan argumentasi ada pada seberapa luas dan seberapa banyak keterangan yang dikoleksi secara pribadi, serta kemudian digulirkan ke dewan musyawarah.
Dengan modal catatan kumpulan ‘ibarat atau ta’bir itu, sang santri atau kalau sudah menjadi alumnus, sangat mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mencuat di masyarakat, dan dalam memberikan keterangan kitab kuning untuk melayani kebutuhan masyarakat itu tidak berlama-lama membuka satu persatu kitab, cukup dengan membuka catatan kumpulan ‘ibarat tersebut.

m. Kitab Kuning Dalam Bentuk Wacana
Bentuk wacana bebas tidak bisa ditentukan dalam satu bentuk. Karena cukup berfariatip dan warna-warni. Seperti bagaimana konsep reposisi agama dan negara perspektif Kitab Kuning, fikih interaktif, fikih klenik, membela sunni, dll. Akan tetapi, wacana yang diproduksi mayoritas wacana yang berbasis fikih.
Jika ada seseorang yang bertanya: “Paradigma dan perspektif apa yang digunakan kalangan pesantren?” Maka jawabannya adalah: “Paradigma fikih”. Nalar fikih sangat terasa sekali jika kita melihat wacana-wacana yang digulirkan kalangan pesantren. Segala persoalan diselesaikan dan dijawab dengan perspektif fikih.



n. Penulisan Ilmiyah a la Kitab Kuning
Di bawah ini adalah diantara karya ilmiyah orisinil tulisan sendiri tapi dengan mengikuti versi Pondok Pesantren yang berbasis Kitab Kuning. As-Syekh Maimun bin Zubeir bin Dakhlan, Nushus al-Akhbar fi as-Shaum wa al-Ifthar, Rembang, Sarang, al-Ma’had ad-Dini al-Anwar, 1998 M., 17 halaman. Maemon Zubeir al-Haj, al-‘Ulama’ al-Mujaddidun, Sarang Rembang, al-Maktabah al-Anwariyyah, 55 halaman.

o. Penulisan Wacana Tanding
Apa yang dimaksud dengan budaya tanding adalah bahwa komunitas santri merespon dengan pemahaman kitab kuningnya atas wacana yang digulirkan oleh pihak di luar komunitasnya. Seperti PP. Sidogiri merespon karya Dr. Quraish Shihab, dan PP. Lirboyo merespon FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang isinya membedah dan mengkritisi Kitab ‘Uqudul al-Jayn. Pihak FK3 mengkritik salah satu KK, yaiyu ‘Uqud al-Jayn, dan produk kritik FK3 dikoreksi dan dikritik balik oleh PP. Lirboyo. Bisa dikatakan naqdlu an-taqdli (kritik atas kritik). Kalangan pesantren berada di antara himpitan pemahaman Islam Kiri-radikal dan Kanan-Radikal seperti faham Wahabisme. Keduanya adalah obyek kritik kalangan pesantren. Namun, jika kita simak dengan seksama, maka kita akan melihat bagaimana mereka mengkritik wacana yang ada di luar pesantren secara ilmiyah—meski ilmiyah di sini bersifat relatif. Yang jelas, dalam memaparkan kritikan dan koreksi subyek yang dikritik dibagun di atas argumentasi dan perspektif KK yang tanpa ada caci-maki dan hinaan terhadap subyek yang dikritik. Hal ini bagi para santri yang tidak terradiasi oleh faham lain.
Berbeda dengan santri yang sudah terkena radiasi faham lain atau karena memiliki latar belakang pendidikan di Arab Saudi, misalkan, maka karya-karyanya pun terasa sekali pengaruhnya dan terkesan “keras”. Seperti sosok Muhammad Najih bin Maymun Zubeir, yang sangat produktif menulis, di antara karya-karyanya yaitu: al-Furuq as-Syasi’ah bayna Haqaiq as-Sunnah wa Abathil as-Syi’ah, Sarang Rembang, al-Maktabah al-Anwariyyah, 1426 H., 14 halaman, Makayid Yahudiyyah ‘ala al-Ummah al-Islamiyyah, 50 halaman, al-Mudzakarah al-Bakalunghiyyah fi al-Ahkam as-Sulthaniyyah, 23 halaman, Risalah at-Takhdzir Mimma fi al-Haflat al-Manakir, 22 halaman, Kasyf Ilhadliyat al-Qadliyaniyyah, al-Maktabah al-Anwariyyah, 10 halaman, an-Nushush al-Qath’iyyat ad-Duwal ‘ala ‘Adam Musawah an-Nisa lir-Rijal, 26 halaman, Jam’u al-Ahadits as-Sb’ah wa al-Khamshin fi Fadl as-Shabr wa ar-Rahmah wa ar-Rifq wa al-Layyin, Sarang Rembang, al-Maktabah al-Anwariyyah, 8 halaman


p. Digitalisasi Kitab Kuning
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informatika. Kalangan pesantren tidak mau ketinggalan. Perkembangan itu terus diikuti, sambil mengisinya dengan hal-hal yang positif dan produktif. Kalangan pesantren, spesifiknya Pondok Pesantren Sidogiri-Pasuruan, memanfaatkan kemajuan itu dengan membuat program digitalisasi perpustakaan.
Digitalisasi kitab kuning itu sekurang-kurangnya ada beberapa cara, yaitu pertama, membuat sebuah program komputer yang isinya koleksi kitab kuning. Kedua, men-schant kitab kuning dan akhirnya dijadikan PDF. Ketiga, membuat webset yang diisi kitab kuning yang bisa diakses dan di-donloud oleh siapa saja. Keempat, membuat koleksi kitab kuning yang dimasukkan ke dalam CD.

q. Tabelisasi Gramatika Arab (Nahwu dan Sharf), warits, astronomi (falakh) dan persoalan haid
Ada beberapa rumusan-rumusan dalam wacana Kitab Kuning yang dituntut untuk dihafal dan difahami dengan sebaik mungkin bagi para santri. Wacana kitab kuning yang berisi rumusan-rumusan itu di antaranya adalah gramatika Arab (ilmu nahwu dan sharf), waris, astronomi (ilmu falak) dan persoalan haid. Sehingga dengan berbagai macam cara rumusan-rumusan itu ditulis agar dapat difahami dan dihafal dengan baik, di antara cara itu ialah ditulis dengan menggunakan tabel atau diagram.
Penulisan gramatika Arab, persoalan waris, falak dan haid dengan menggunakan tabel atau diagram di temukan di Pondok Pesantren Lirboyo, Poloso, dan Sidogiri.

r. Kitab Kuning Muradl-an
Terma kitab kuning muradl-an dijumpai di Pondok Pesantren Tegalrejo-Magelang. Muradl artinya adalah apa yang dikehendaki, maksud, dan tujuan. Kitab Kuning muradl-an adalah kitab yang di dalamnya menulis naskah asli karya ulama salaf as-shalih dan dijelaskan paragraf per paragraf dengan penjelasan bahasa Jawa Krama Inggil yang ditulis dengan menggunakan huruf-huruf Arab Pegon agar maksud sang penulis dapat difahami oleh pembacan dan para santri. Apa yang dimaksud dengan muradl-an adalah upaya menjelaskan atas apa yang dikehendaki dan dimaksud oleh penulis. Penjelasan itu ditulis oleh kyai atau ustadz senior atas instruksi sang kyai.
Penjelasan atas apa yang dikehendaki penulis kitab kuning itu bukan hanya dengan menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil yang ditulis Arab Pegon. Tapi di sebagian pondok pesantren salaf, seperti pesantren Sidogiri-Pasuruan, penjelasannya dengan menggunakan bahasa Indonesia ditulis menggunakan huruf-huruf Arab Pego, dan di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin-Cirebon menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil khas Cirebon.

s. Kamus Santri
Pondok Pesantren salaf (tradisional) memiliki sistem pengajaran dan pembelajaran Kitab Kuning yang khas, unik dan geniun. Salah satunya adalah sistem pemaknaan atas Kitab Kuning yang meliputi arti kalimat perkalimat dengan arti bahasa Jawa yang khas dan kalimat perkalimat itu juga dibubuhi tanda baca sebagai status dan kedudukan menurut kaidah gramatika bahasa Arab (tarkib). Arti atau makna itu bukan bahasa Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Cirebon, atau Banten. Tapi bahasa Jawa yang khas dan tersendiri. Karena itu dibutuhkan Kamus makna Jawa khas Kitab Kuning. Sekurang-kurangnya ada dua versi Kamus. Pertama, Kamus Santri yang berisi kamus tiga bahasa; yaitu bahasa Arab, bahasa Jawa makna gondrong Kitab Kuning versi Pesantren, dan bahasa Indonesia. Seperti Kamus at-Taufiq Arab-Jawa-Indonesia, karya H. Taufiqul Hakim.
Kedua, buku yang berjudul “Rahasia Sukses Belajar PEGON”, disusun oleh M. Ibrahim al-Fatahiyyah, yang didapatkan di Pondok Pesantren Lirboyo-Kediri. Berisi meliputi (1). Cara menyambung huruf Arab. Menjelaskan metode penyambungan dan pembentukan huruf Arab yang efektif dan efesien bagi para santri pemula. (2). Cara menulis Pegon. Kita tahu bahwa di Pesantren salaf, para santri membubuhi makna Kitab Kuning dengan huruf Arab berbahasa Jawa Pegon. Di buku ini dijelaskan bagaimana membuat dan menulis Pegon secara benar dan seragam. Keseragaman penulisan Jawa Pegon itu harus berlandaskan pada kaidah-kaidah baku. Dan buku ini menjelaskan kaidah-kaidah baku penulisan Jawa Pegon. (3). Kamus Makna gondrong versi Pesantren salaf. Sebagaimana galibnya kamus, buku ini juga menggunakan kaidah-kaidah kamus yaitu dengan menggunakan abjad. A sampai Z. Maka-makna gondrong meski menggunakan bahasa Jawa, tapi memiliki ciri khas yang berbeda dengan bahasa Jawa yang telah ada. Maka dari itu, kamus ini hadir untuk memberikan arti bahasa Jawa yang digunakan dalam memaknai Kitab Kuning diartikan dengan bahasa Indonesia. (4). Singkatan Makna. Yang dimaksud dengan singkatan makna adalah rumus-rumus simbolik atas makna dan kedudukan kalimat perkalimat dalam proses memberikan makna selaras dengan kaidah-kaidah gramatika Arab. Seperti kalimat yang berkedudukan sebagai fa’il (subyek) disimbolisasikan dengan huruf fa’, dan maf’ul bihi (obyek) disimbolisasikan dengan huruf mim dan fa’ yang disambung, dan seterusnya.
Sedangkan di Pondok Pesantren Sidogiri-Pasuruan, kita menemukan sebuah karya yang menjelaskan penulisan Pego. Lantas apa perbedaan antara Pegon dan Pego? Kita tahu bahwa Pegon adalah bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab. Sedangkan Pego adalah bahasa Latin dan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab. Sebagaimana penjelasan dan keterangan atas Kitab-Kitab Kuning sebagai

t. Muqtathafat
Muqthathaf adalah salah satu jenis reproduksi Kitab Kuning yang diupayakan oleh ulama Islam di Indonesia, khusunya Pondok Pesantren Sidogiri-Pasuruan yang telah mengupayakan dan melestarikan jenis muqthathaf sebagai jenis Kitab Kuning yang masuk pada kurikulum wajib yang diajarkan di madrasah diniyyah yang ada di dalam internal pesantrennya.
Arti muqthathaf menurut kebahasaannya adalah kutipan, petikan, seleksi, pilihan, saduran, dan pengambilan, serta cuplikan. Sedangkan menurut arti, yang biasa berlaku di kalangan perantren, para kyai-kyai dan santri-santri, adalah jenis reproduksi Kitab Kuning yang diupayakan para kyai, ustadz dan santri dengan menyadur dan memetik beberapa penjelasan dan keterangan dari Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama salaf as-shalih, baik dari satu Kitab atau dari beberapa Kitab, kemudian dikumpulkan menjadi satu Kitab berdasarkan cuplikan secara langsung dan signifikasni sekaligus relefansi substansi yang ada di dalam keterangan Kitab Kuning yang dicuplik tersebut.
Seperti kitab Tafsir Ayat al-Mu’amalah, setebal 141 halaman, yang dicuplik dari keterangan-keterangan yang menjelaskan mu’amalah dari Tafsir Jami’ al-Ahkam, karya al-Imam Abu ‘Abdullah bin Ahmad bin Aby Bakar yang terkenal dengan nama Imam al-Qurthubi, dimana kitab saduran (cuplikan) atau muqthathaf ini menjadi kitab wajib yang masuk pada kurikulum Madrasah Miftahul ‘Ulum di Pondok Pesantren Sidogiri-Pasuruan, pada jurusan Tafsir. Metode yang digunakan dalam kitab tersebut dengan menyadur ayat-ayat beserta tafsirannya yang menjelaskan mu’amalah. Tanpa ada pengurangan atau pemangkasan keterangan yang ada dalam kitab yang disadur. Hanya saja, di dalamnya diberi bab perbab, dan sub-sub bab yang terkandung di dalam bab. Sehingga pembaca mendapatkan kemudahan dalam memilih-memilah bab perbab yang membahas masing-masing persoalan yang lebih spesifik di dalam babnya sendiri-sendiri.



Penutup
Masih banyak lagi tipologi, bentuk dan model kitab kuning yang lain yang belum dicantumkan dalam tulisan ini. Dan kita tetap berhadap dan optimis bahwa kitab kuning akan terus dinamis dan memunculkan bentuk-bentuk yang lebih berfariatif dan kaya yang dihasilkan dari tangan-tangan kreatif dan inovatif kaum sarungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar