Jumat, 21 Januari 2011

Pesantren dalam Adaptasi Budaya Lokal

Oleh Saefullah



                                                                                                         ***

Term pesantren addressed to call education institute of traditional Islam as place of the santri knowledge learning about Islam. They is not only consisted of santri living in and learning residence is maisonette pesantren, however also santri bat which only learn in pesantren whereas every day remains and stays with it each. Research of Zamakhsari Dhofier and Martin van Bruinessen mentions, curriculum and study pattern in pesantren refers to moslem scholar heritage books salafus shalih so-called yellows book, even frequent also is conceived of pole almuktabaroh. Book applied as reference in pesantren rust colored mean as result of seen obsolescence and not maintained. Because its(the familiar yellows book term, the mention also still frequently applied to call books studied in pesantren even the bible paper having colour white. The books usually contains study about science fiqh, tauhid, behavior, tasawuf, nahwu ( grammer), astronomy, and conspecific sciences. While way of study in pesantren usually applies model individually through method bandungan, wetonan and sorogan. Van den is having Berg calls morale aspect, behavior and tasawuf as primal things taught in pesantren. Even pesantren-pesantren influential
Pass the matter, pesantren bears positions which tasamuh ( cordiality), tawazun ( balance), and i'tidal ( fair). This thing can be made reason to refuse accusation that santri has and express position of its(the keberagaman in ekstrem or radical passed movements as terrorism that is the existing middle become fearful spectre for world.                                                                                         ***

A. Ngawiti
PULUHAN santri dengan penuh konsentrasi tampak duduk di tajug pada sebuah komplek pesantren sambil memberi catatan pada kitab klasik di tangannya. Di depan puluhan santri tersebut seorang kiai sedang membacakan kitab dan memberikan penjelasan.
Apa yang dilakukan kiai dan puluhan santri tersebut merupakan gambaran yang biasa disaksikan di komplek pondok pesantren. Pemandangan ini pun setidaknya mewakili deskripsi Clifford Geetz dan Zhamaksari Dhofier mengenai komponen pesantren yang terdiri dari kiai, santri, masjid, pondok dan pengajian kitab klasik.
Sejak beberapa dekade terakhir, pesantren semakin mendapat tempat dalam khazanah pendidikan nasional. Ini tidak hanya karena UU 20/2003 demikian akomodatif terhadap berbagai pranata pendidikan di tanah air -- termasuk pesantren- namun karena memang sejak lama lembaga pendidikan tradisional ini telah lama berkiprah memberdayakan umat sekaligus mampu bertahan di tengah berbagai kesulitan yang mengitarinya. Belakangan, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI juga berencana melakukan regulasi dengan menetapkan aturan mengenai standardisasi pesantren.
Setidaknya, menurut hemat penulis, ada beberapa alasan yang membuat kajian mengenai pesantren demikian menarik. Pertama, karena pesantren merupakan pranata dan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia sekaligus memiliki keterkaitan dengan budaya lokal Indonesia, khususnya Jawa sehingga ia kerap disebut sebagai institusi pendidikan Islam yang indogenus . Kedua, institusi pendidikan Islam bernama pesantren tersebut telah berasimilasi demikian lama dan bersosialisasi selama berabad-abad di Indonesia sekaligus dapat diterima dan bertahan hingga kini . Bahkan sebagian pihak menyebutnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunikan dan keunggulan yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain.
Istilah pesantren ditujukan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam tradisional sebagai tempat para santri belajar pengetahuan mengenai agama Islam. Mereka tidak hanya terdiri dari santri mukim yang belajar dan tinggal di pondok pesantren, akan tetapi juga santri kalong yang hanya belajar di pesantren sementara setiap hari tinggal dan menginap di rumahnya masing-masing.
Penelitian Zamakhsari Dhofier dan Martin van Bruinessen menyebutkan, kurikulum dan pola pembelajaran di pesantren merujuk pada kitab-kitab warisan ulama salafus shalih yang disebut kitab kuning, bahkan kerap juga disebut sebagai kutub al- muktabaroh. Kitab yang digunakan sebagai acuan di pesantren rata-rata berwarna kuning akibat terlihat usang dan tidak terawat. Karena familiarnya istilah kitab kuning, sebutan tersebut juga masih kerap digunakan untuk menyebut kitab-kitab yang dipelajari di pesantren meski kertas kitab tersebut sudah berubah menjadi berwarna putih.
Kitab-kitab tersebut biasanya berisi kajian mengenai ilmu fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, nahwu (grammer), astronomi, dan ilmu-ilmu sejenis. Sedangkan cara pembelajaran di pesantren biasanya menggunakan model individual melalui metode bandungan, wetonan dan sorogan.

Referensi Nilai Universal
Van den Berg menyebut aspek moral, akhlak dan tasawuf sebagai hal-hal terpenting yang diajarkan di pesantren. Bahkan pesantren-pesantren berpengaruh Sedangkan Said Aqiel menempatkan kitab kuning sebagai faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, menurutnya, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (marji') nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan fikih-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi-ektrem dan fikih-ekstrem.
Melalui hal itu, pesantren melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i'tidal (adil). Hal inilah yang bisa dijadikan alasan untuk menolak tudingan bahwa santri memiliki dan mengekspresikan sikap keberagamannya secara ekstrem atau radikal melalui gerakan-gerakan seperti terorisme yang saat ini tengah menjadi hantu menakutkan bagi dunia.
Dalam soal kepemimpinan lembaga pendidikan, apa yang ada di pesantren tergolong unik, di mana kepemimpinannya bertumpu pada figur seorang kiai. Kiai tidak hanya dipersonifikasikan sebagai pemimpin tapi juga panutan di lembaga ini. Bahkan berdasarkan catatan hasil penelitian Abdurrahman Mas’ud , kiai tak hanya kharismatik dan mampu berperan sebatas di pesantren, akan tetapi juga cukup disegani di tengah-tengah masyarakat. Kapasitas intelektual dan integritas moral kiai yang tinggi membuatnya cukup berpengaruh di tengah masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Melalui kepercayaan masyarakat itulah kiai melakukan transformasi sosial di lingkungan sekitarnya, bahkan kepada masyarakat luas yang jauh dari lingkungan pesantren melalui tradisi dakwah –khususnya dakwah lisan yang dikembangkannya.
Iik Arifin Noer , melihat peran kiai senantiasa relevan dan penting bagi proses transformasi sosial di tengah masyarakat bukan hanya dipengaruhi oleh simbol-simbol atau institusi fisik yang dibangunnya baik berupa pesantren maupun institusi lain. Kiai justru demikian berpengaruh di tengah masyarakat karena kemampuannya menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma keagamaan menjadi pedoman yang bermakna dan praktis secara historis dan sosiologis sekaligus kemampuannya memelihara spiritualitas dan intelektualitasnya.

Adaptasi dengan Mandala
Pesantren –baik dari akar kata maupun tradisi yang terbentuk di dalamnya—pada dasarnya bersifat indogenus. Kata pesantren sendiri berasal dari kata berbahasan Sanskerta atau Pali, Shastri , sebuah istilah untuk menyebut sarjana yang memiliki keahlian kitab-kitab suci. Said Aqiel , mengungkap akar kata santri berasal dari kata cantrik, para murid di negeri Dhoho Kediri yang belajar ilmu-ilmu agama di sebuah padepokan khusus,
Dua istilah berbahasa Sanskerta, shastri dan cantrik, yang disebut sebagai akar kata santri atau pesantren seperti tersebut di atas menyiratkan keterkaitan pesantren yang berkemampuannya mengakomodir elemen-elemen budaya lokal Indonesia, khususnya Jawa. Bahkan Malik Fadjar , menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki kontinum kebudayaan dengan lembaga pendidikan yang telah lama berakar di Indonesia bernama Mandala sebagai tempat untuk belajar ilmu-ilmu agama di masa Hindu-Budha. Ia juga mengungkapkan pola pembelajaran individual yang diterapkan di pesantren sejak dulu hingga kini juga tak jauh berbeda atau bahkan merupakan bentuk tradisi belajar untuk meneruskan apa yang diterapkan di Mandala, Perbedaannya terletak hanya pada isi dan ilmu pengetahuan yang diajarkan di pesantren yang mengambil sumber ajaran Islam dan karya-karya ulama salafus salih di masa keemasan Islam abad 13 Masehi.
Kemampuan adaptasi pesantren dengan pranata pendidikan Mandala, menurut penelitian Malik Fadjar, tampak pada tahap awal perkembangannya yang ditandai dengan proses okulasi kebudayaan seperti halnya adaptasi Islam dengan budaya lokal pada saat pertama kali disebarkan Walisongo di tanah Jawa. Bahkan, Malik juga mengungkap pelajaran-pelajaran di pesantren yang cenderung mistik pada masa-masa awal perkembangannya merupakan strategi yang bertujuan agar pesantren bisa adaptif terhadap pranata pendidikan Mandala yang sudah ada sebelumnya. Dengan strategi tersebut pesantren akhirnya bisa diterima dengan lapang dada oleh masyarakat Jawa khususnya, seperti diterimanya Islam dan kemenangan gemilang yang diperoleh Islam untuk mengislamkan masyarakat di tanah Jawa yang saat itu dalam pengaruh Hindu-Budha yang sudah berurat akar.
Dalam konteks engkulturasi budaya, kalangan pesantren telah demikian menghargai dan mengakomodir budaya lokal. Bahkan kemampuannya bersikap akomodatif terhadap budaya lokal Indonesia membuat pesantren –seperti halnya Walisongo-- bisa diterima masyarakat Jawa karena kemampuannya menampilkan wajah Islam yang lebih humanis dan benar-benar bernuansa dan sesuai dengan budaya Indonesia. Wajah Islam yang berdimensi lokal genus ini makin menempatkan Islam sebagai agama yang besar dan mampu merefleksikan semangat rahmatan lil ‘alamin sehingga bisa beradaptasi dan diterima masyarakat di Indonesia khususnya Jawa. Ini pula yang menurut Abdurrahman Mas’ud membuat kemenangan Islam begitu meyakinkan di tanah Jawa sehingga menjadi sebuah tradisi besar dan diterima masyarakat Indonesia yang saat itu secara turun-temurun memercayai tradisi Hindu-Budha sebagai agama yang lebih dulu menyebar kuat di Indonesia.
Said Aqiel mengungkap para para ulama mendirikan pesantren untuk memenuhi tiga tujuan pentng, yakni sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius atau sekadar improvisasi lokal dan sebagai penggerak transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsa. Harapan itu, menurutnya, justru dilatarbelakangi oleh landasan tradisi masyarakat setempat.
Menurutnya, tujuan itulah yang membuat pesantren mampu berperan sebagai agen ortodoksi Islam yang paling penting. Dalam konteks ini, Said Aqiel melihat pesantren lebih banyak memperhatikan bagaimana menjaga kesinambungan pemurnian Islam, ajaran Islam, dan tarikan akulturatif berbagai unsur sistem kepercayaan lokal atau asing. Sehingga di samping menjadi 'makelar kebudayaan' (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai filter unsur-unsur luar yang tampak lebih dominan, agar keutuhan Islam tetap terjaga.
Nuansa mistik dalam pelajaran dan pendidikan di pesantren, menurut Malik fadjar , semakin berkurang ketika kiai dan elemen-elemen pendidikan pesantren bersentuhan langsung dengan Haramain –Mekkah dan Madinah—sebagai pusat penyebaran Islam di dunia. Corak keilmuan di pesantren pun kemudian mengalami perubahan melalui proses ortodoksi dari Islam mistik ke Islam Sunni. Proses ortodoksi ini berjalan tanpa menghilangkan daya dan kemampuannnya dalam beradaptasi dan mengakomodir budaya lokal dalam bingkai ke-bhineka tunggal ika-an pada proses bertamaddun. Persentuhan dengan Haramain juga membuat jaringan ulama dan para pelaku pendidikan Islam di tanah air –khususnya pesantren—mulai melirik sistem pembelajaran yang lebih terprogram dan klasikal sehingga kemudian turut memicu tumbuh kembang model pendidikan melalui institusi pendidikan Islam yang sampai kini disebut madrasah.
Istilah Sunni, merujuk pada tesis Abdurrahman Mas’ud , digunakan untuk menyebut aliran atau kelompok keagamaan dalam Islam yang menerima otoritas sunnah Nabi Muhammad SAW dan otoritas seluruh generasi pertama umat Islam serta validnya kesejarahan komunitas mayoritas muslim. Istilah ini juga disebut Abdurrahman Mas’ud mengacu pada kecenderungan untuk menjadikan al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber dalam mencari penjelasan debat ideologis dan pegangan hidup yang berbeda dengan kecenderungan pihak-pihak lain yang hanya menggunakan akal untuk mementahkan otoritas hadits. Dalam konteks politis, istilah Sunni juga digunakan untuk menunjuk pada orang atau komunitas yang menggunakan kekuatan mayoritas (jamaah) guna menghindari perpecahan umat akibat sebuah persoalan, khususnya dalam bidang politik.

Spektrum Jawa
Pesantren memang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di tanah air. Usianya sama tuanya dengan perkembangan Islam di tanah Jawa dan nusantara. Saefuddin Zuhri menyebut asal usul pesantren terkait erat dengan sejarah Walisongo pada abad XV hingga XVI Masehi. Maulana Malik Ibrahim, menurutnya, dianggap sebagai gurunya guru tradisi pesantren di tengah masyarakat santri Jawa. Pengaruh Walisongo dalam penelitian Abdurrahman Mas’ud juga berkembang dan meluas ke luar Jawa. Pesantren-pesantren tua dan besar di luar Jawa, menurut Abdurrahman Mas’ud, pembentukannya terinspirasi oleh ajaran Walisongo. Abdurrahman Mas’ud menyebut pengaruh Walisongo terlihat pada inspirasi dakwah Maulana Malik Ibrahim terhadap pendirian Pesantren Nahdhatul Wathan di Poncor Lombok Timur pada tahun 1934.
Selain itu, Abdurrahman Mas’ud juga mengungkapkan pendekatan-pendekatan yang digunakan Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa di kemudian hari terinstitusikan dalam tradisi keilmuan dan keagamaan di pesantren. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain berupa pola hidup saleh, keteladanan (modeling) para pendahulu terbaik serta kebiasaan mengarifi budaya dan tradisi lokal. Pendekatan-pendekatan itu pulalah yang kemudian menjadi ciri utama komunitas pesantren, baik dalam tradisi keilmuan dan pendidikan maupun kemampuan transformasi sosialnya di tengah masyarakat sekitar pesantren. Tarekat dan supremasi ilmu agama yang telah terepresentasikan dalam kehidupan Walisongo juga disebut Abdurrahman Mas’ud menjadi ciri khas lain dalam kehidupan pesantren. Pengaruh Walisongo ini dalam kehidupan pesantren –termasuk bagi masyarakat muslim di Jawa— sangat besar karena kesuksesan Walisongo yang luar biasa dalam mengislamkan tanah Jawa secara damai dan rekonsiliasinya dengan nilai dan tradisi lokal pada abad XV dan XVI.
Abdurrahman Mas’ud juga menyebut peran Sultan Agung Mataram yang berkuasa sejak tahun 1613 hingga 1645 semakin menguatkan perkembangan Islam. Ini pula yang disebut Abdurrahman Mas’ud sebagai wujud dukungan dari Sultan Agung untuk memperkuat pesantren. Terwujudnya hubungan yang erat dan harmonis antara pujangga keraton Mataram dengan ulama Jawa disebutnya sebagai salah satu bukti adanya daya dukung tersebut. Bahkan Sultan Agung disebutnya sebagai raja di nusantara yang sangat aktif menyokong perkembangan tradisi pesantren. Seperti terlihat pada kebijakan Sultan Agung yang menawarkan tanah perdikan milik keraton Mataram kepada komunitas santri supaya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka. Tanah tersebut cukup untuk membangun 300 pesantren sehingga pada abad XIX terjadi peningkatan jumlah pesantren di Jawa. Ini pula yang membuat Muhamad Yunus menyebut periode Mataram sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam.
Di masa penjajahan Belanda, jasa dan peran para santri dan ulama dalam perjuangan melawan penjajah juga cukup besar. Perlawanan para santri dan kiai di berbagai pelosok Pulau Jawa menjadi bukti mengenai perjuangan heroik para santri yang juga mewarnai perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Bahkan pejuang yang berlatarbelakang pendidikan pesantren juga menambah deret pejuang-pejuang Indonesia yang turut membebaskan bangsa ini dari belanggu imperialisme Belanda. P.B.R. Carey , mengungkap dukungan yang luar biasa dari para santri terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Perlawanan dan pemberontakan rakyat Cilegon Banten terhadap Belanda pada tahun 1888 menurut penelusuran Martin Van Bruinessen melibatkan para pejuang dari kalangan santri, khususnya kaum sufi.
Peran yang ditunjukkan para santri dan kiai di Indonesia khususnya Jawa terus-menerus terlihat hingga kini. Tak hanya dalam perjuangan fisik melawan kaum penjajah melalui keterlibatan langsung dalam perang dan pemberontakan terhadap penjajah di masa revolusi fisik, tapi juga terus berlangsung hingga masa setelah kemerdekaan hingga kini. Malik Fadjar, menyebut peran pesantren demikian besar dalam proses pemberdayaan masyarakat pada tahun 1970 hingga 1980-an bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang saat itu menjadi lokomotif pemberdayaan masyarakat. Pesantren digandeng sebagai mitra LSM dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat perdesaan ketika itu. Hal itu dilatarbelakang karena pesantren lebih dekat dan mengetahui seluk beluk masyarakat di tingkat bawah sehingga sangat cocok dilibatkan dalam pembangunan bernuansa People Centered development (Pembangunan yang menjadikan masyarakat sebagai sentral pemberdayaan).
Malik Fadjar juga mengaitkan peran kaum muslim terpelajar dalam berbagai bidang kehidupan di negeri ini, baik bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, birokrasi, pemberdayaan umat dan bidang lain sebagai bukti untuk melacak peran pesantren, kiai dan santri dalam dinamika kehidupan dan pembangunan bangsa ini.

Lokus Unik
Sebagai institusi pendidikan, pesantren juga memiliki keunggulan dibanding lembaga pendidikan lain. Keunggulan pesantren, menurut Nurcholis Madjid terepresentasi pada proses transformasi dan internalisasi moral yang diusung dan dilakukannya. Integritas moral pesantren merupakan sesuatu yang tak kalah pentingnya ilmu agama Islam dimiliki alumni pesantren. Ini bisa dianggap sebagai keunggulan pesantren dibanding lembaga pendidikan lain yang selama ini dianggap kurang berhasil melahirkan lulusan yang memiliki intergritas moral yang memadai. Fenomena dan kasus penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif serta free seks di kalangan pelajar, tawuran dan sejumlah ciri dekandensi moral yang juga melibatkan lulusan lembaga pendidikan merupakan salah satu bentuk kekurangberhasilan lembaga pendidikan umum dan sekolah melahirkan lulusan yang bermoral seperti apa yang sudah dihasilkan pesantren.
Martin Van Bruinessen mengungkap adanya tradisi agung (Great Tradition) pada proses pendidikan di pesantren, yakni tradisi akademik/intelektual pesantren yang yang dicirikan dengan kemandiriannya seperti terlihat dari tradisi belajar kitab kuning dengan model sorogan, bandungan dan wetonan. Kemandirian proses akademik/intelektual di dunia pesantren itulah yang menurut Malik Fadjar, turut mendorong terciptanya lulusan pesantren yang mandiri dan siap pakai di tengah masyarakat setelah menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Ini berbeda dengan sekolah umum bahkan perguruan tingi yang justru menghasilkan banyak lulusan yang akhirnya menjadi pengangguran terdidik.
Pesantren, menurut Iik Arifin Noer, juga telah mampu memberikan akomodasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa hambatan birokrasi dan biaya yang njlimet dan mahal seperti di lembaga pendidikan lainnya. Artinya, menurut Iik, pesantren mampu mengurangi terhambatnya pemerataan pendidikan akibat mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak anak-anak dari keluarga tidak mampu yang bisa belajar di sana. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar