Jumat, 25 Februari 2011

Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual Islam Nusantara

Oleh Dr. KH. Affandi Mochtar, MA

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI 
Pendiri Yayasan Amal Al-Biruni Babakan Ciwaringin Cirebon

Intellectual wave of Islam Nusantara as long as century XVIII M and XIX M look two oposition face conflict
First, among compulsion and emphasis go into effect consideration of Moslem law and fiqh in the field of personal and social life, by institusionalisasi sufisme. Conflict of a kind of this is umpanya, that happened in debate among Syeikh Akhmad with teacher tarekat. Among tendency learn sufistik and tarekat which heterodoks with orthodox. One of most intensive conflict between Syattariyah by Naqsabandiah
                                                                                                        ***
Kitab Kuning adalah simbol tradisi intelektual di lingkungan pesantren. Ia menjadi wahana penyebaran ajaran Islam yang dirumuskan para ulama masa lalu, kepada para pelajar di masa kini. Lantas, sebetulnya apakah yang dimaksud dengan Kitab Kuning itu? Tulisan ini coba membahasnya.
Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada yang merendahkan (peyoratif). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan jaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.
Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah Kitab Kuning tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih apresiatif untuk menyebut Kitab Kuning, misalnya dengan nama kitab klasik, al kutub al qadimah.
Sementara yang pengertian yang beredar di kalangan pemerhati masalah kepesantrenan adalah bahwa Kitab Kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Mereka memberikan definisi yang lebih rinci bahwa yang termasuk Kitab Kuning adalah kitab-kitab yang: a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia; b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut al kutub al qodimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua disebut al kutub al ashriyyah (kitab-kitab modern). Perbedaan yang pertama dari yang kedua, antara lain dicirikan oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, kalsik dan tanpa syakl (baca: sandangan; fathah, dlammah, kasrah. Apa yang disebut Kitab Kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, al kutub al qadimah.
Selain nama itu, karena tidak dilengkapi dengan sandangan, Kitab Kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren sebagai “kitab gundul”, dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itupun tidak luput dari sebutan kitab kuno.
Spesifikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh karena penuturannya lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, - ia diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan Kitab Kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (kuarto).
Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, artinya tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilihat setiap kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman), yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu Kitab Kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang Kyai.
Selain itu, yang membedakan Kitab Kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari Kitab Kuning: metode sorogan dan metode bandungan. Cara yang pertama, santri membacakan Kitab Kuning di hadapan Kyai dan sang Kyai langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf).
Sedangkan cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang Kyai sambil masing-masing memberi catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafy), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.
Selain dengan kedua metode di atas, dewasa ini – sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian Kitab Kuning – di lingkungan pesantren telah berkembang metode jalsah (diskusi [kelompok] partisipatoris) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari Kitab Kuning.
Pengajarannya di Pesantren
Sejauh bukti-bukti historis yang tersedia, bisa dikatakan bahwa Kitab Kuning menjadi buku teks atau referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang ini, bermula pada abad 18 M. Bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari belajarnya di Mekkah.
Namun realitas ini tidak berarti Kitab Kuning, sebagai produk intelektual, belum ada pada masa-masa awal perkembangan keilmuan Islam di Nusantara. Sejarah mencatat, paling tidak, sejak abad ke-16 M, sejumlah Kitab Kuning, baik dengan menggunakan Bahasa Arab, Melayu maupun Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang – kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan Kitab Kuning di pesantren-pesantren.
Kita juga bisa mengajukan pertanyaan, mengapa, misalnya, hanya fiqh, ushul al din, tasawwuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab yang menjadi disiplin ilmu utama di pesantren-pesantren? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dirumuskan secara memuaskan jika mempertimbangkan perkembangan intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya. Karena itu, pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam Nusantara masa awal.
Ihwal asal-usul dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang menekuninya. Di antara mereka, untuk menyebut beberapa nama, adalah Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan Azyumardi Azra.
Walaupun berbeda rumusan – karena perbedaan pendekatan yang digunakan – hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting: [1] kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah, sebagai bagian dari proses internasionalisasi Islam, dan [2] interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal, sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara, seperti antara lain tercermin dalam tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa.
Taufik Abdullah dalam penelusurannya yang sosio-historis menangkap lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara. Gelombang-gelombang itu dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan pandangan keislaman yang secara kolektif dan permanen pada masa tertentu, tidak individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima gelombang itu, ia tidak memberikan label yang ketat berkenaan dengan disiplin-disiplin keilmuan – kecuali hanya menyebutkan tekanan-tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap umat Islam (community) dalam memperlakukan Islam sebagai jalan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan kekuasaan.
Gelombang pembentukan pemikiran Islam – yang oleh Abdullah kemudian disebutnya gelombang pertam – baru berlangsung di Nusantara sepanjang abad 13 M sampai dengan abad 16 M. Dari bukti-bukti yang dapat dipercaya, baik dalam bentuk batu nisan di Samudera Pasai, buku-buku sejarah tradisional semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun laporan-laporan pengelana asing, Marco Polo dan Ibnu Batutah, dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad ke-13 M di ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai).
Meskipun demikian, sampai abad ke-14 M kekuasaan itu belum tampil sebagai hegemoni politik yang paling berpengaruh – masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit, yang pada waktu bersamaan telah berdiri di ujung Timur pulau Jawa. Barulah pada pertengahan abad ke-15 M, dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka, yang telah Islam, dengan mendominasi wilayah-wilayah perairan (maritim).
Yang terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak hanya sebagai agama dan komunitas, akan tetapi juga sudah menjadi nilai kekuatan yang berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran Islam telah sampai pada tahap yang cukup ekspresif dan demonstratif – Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang telah hadir sebelumnya.
Pada gelombang ini pula, pandangan dan pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat, antara dunia kini, yang haq, dan dunia lama, yang kafir. Prinsip-prinsip kosmopolitanisme Islam berarti semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan cara merujukkan kultur umat Islam Nusantara dengan kultur Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun Parsi, ke dalam buku-buku sejarah Melayu – kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa – salah satu capaian intelektual Islam yang penting pada gelombang ini.
Gelombang kedua dimulai sebagai kelanjutan (konsekuensi) dari capaian gelombang pertama. Ajaran Islam, sebagaimana diajarkan teks-teks resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas, menggantikan agama-agama masyarakat (folk religions). Kontemplasi (renungan) yang mempersoalkan kaitan manusia dengan Yang Maha Tinggi dan Abadi dimulai pada gelombang ini. Puncaknya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani di Sumatera, dan Syeikh Siti Jenar di Jawa, sebelum masing-masing akhirnya dibantai oleh Nuruddin ar-Raniry dan Walisongo.
Semenjak gelombang ini, perumusan yang menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan Islam sudah dimasukkan menjadi agenda kerja intelektual. Di Aceh, misalnya, pada tahun 1603 M, Buchari al Jauhari sudah menulis Taj al Salatin (Mahkota Segala Raja), yang merupakan teks teori kenegaraan yang paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya selaras dengan teori-teori kenegaraan Sunni Tradisional. Dalam bahasa Abdullah, “peranan Taj al Salatin [adalah] sebagai pemula ke arah terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”
Penting untuk dicatat bahwa karena observasinya bersifat sosio-historis, umum, Abdullah seringkali gagal menangkap denyut intelektual murni, khususnya berlangsung pada gelombang ini. Misalnya saja, ia tidak menyebut jaringan intelektual antara ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Temuan Azyumardi Azra dalam hal ini sangat signifikan, bahwa hubungan guru-murid telah dibangun pada abad ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad al Qushashi dan Ibrahim al Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, Abd. Al Rauf al Sinkili. Bahkan lama sebelum itu, masyarakat Mekkah dan Madinah telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci”. Tentu saja, kontak internasional seperti ini menjadi pintu masuk bagi Kitab Kuning asal Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara.
Penyelarasan Kehidupan Sosial
Pada paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual yang ketigapun kemudian muncul dalam bentuk intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan tata kehidupan sosial. Fiqh, hukum-hukum Islam – menggantikan kontemplasi sufistik – menjadi perhatian untuk “memaksa” lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan Islam, official religion. Setelah benihnya ditanamkan oleh ar-Raniry yang memulai penyebutan Asmaul Husna dalam teks-teks hikayatnya, antara lain Shiratal Mustaqim, yang kemudian diolah ulang oleh Syeikh Arsyad al Banjari, gelombang ini diwarnai antara lain, oleh Wahabisme gerakan Padri dan karya-karya ortodoksi Kemas Fachruddin di Palembang.
Selain itu, gelombang ketiga ini jga diwarnai oleh kecenderungan kuat institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat-tarekat, sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan pemikiran sufi yang menyimpang (heterodoks). Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik).
Pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syariah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah umpanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syeikh Akhmad dengan para guru tarekat. Kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang heterodoks dengan yang ortodoks. Salah satu konflik yang paling intens ialah antara Syattariyah dengan Naqsabandiah.
Yang menarik untuk dicatat karena sangat relevannya dengan kajian ini adalah, bahwa di balik dua pergolakan itu pesantren sedang memasuki proses penyebaran yang cukup cepat. Diakui oleh Abdullah – tanpa menyebut contoh kongkrit – bahwa pada masa itu tradisi pesantren makin kuat dan jaringan guru-murid, yang menjadi landasan kelembagaan, semakin berakar. Pada tahap ini pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi hampir di seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Abdullah tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkait erat dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan warna syariah yang kuat (ortodoks) sebagai bias dari penetrasi gerakan syariah minded yang dilancarkan kelompok puritan.
Dalam posisi seperti itu, tampak bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menganggapnya sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqh, atau sebagai penentang gerakan puritan pembaharuan. Agaknya, peranan sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu pihak, dan gerakan fiqh versus gerakan tasawwuf di pihak lain.
Kemudian, muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam bentuk fiqh, ditambah dan instititusionalisasi sufistik, yang berhasil diberlakukan dalam wilayah (umat) yang sangat luas, harus berhadapan dengan “keraton” yang cenderung dalam kungkungan penuh dominasi asing, kafir. Ketegangan tidak bisa terelakkan antara ulama dan penguasa, dan antara pesantren dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan “kebangkrutan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu upaya penerjamahan pengalaman observasi politik ke dalam pemikiran dan kegiatan keagamaan. Termasuk dalam bagian dari pengalaman dan observasi ini adalah gerakan “pan Islamisme” yang berupaya mewujudkan komunitas politik Islam dalam skala global.
Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan politik versus Barat dan “kraton”, dengan demikian telah menjadi perhatian utama gelombang ini.
Ujung dari perjuangan untuk mengentaskan kembali “Islam” dari keterjajahan adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis yang modern”, yang menandai munculnya gelombang kelima – gelombang terakhir dalam sketsa Abdullah. Berkembang dalam kompleksitas masyarakat dan dalam ketersediaan media cetak, gelombang ini digerakkan oleh dua hal: pertama, lahirnya organisasi-organisasi sukarela yang berdiri di atas kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan kedua, tersedianya media cetak – di samping media oral – yang berfungsi menyebarkan pandangan dan pemikiran keagamaan.
Sistematisasi gerakan Islam tidak saja terjadi dalam lingkup instrumental, lembaga, tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan. Ketersediaan media cetak – sebagai salah satu instrumen komunikasi – misalnya, sekaligus bisa mendorong lebih luas penyebaran karya-karya terjemahan, yang ikut menyulut semangat keagamaan, terutama pada masa pasca kemerdekaan. Perkembangan Kitab Kuning secara massal di pesantren juga didukung oleh situasi seperti ini.
Beberapa catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa Abdullah di atas. Pertama, akar terdalam dari tradisi intelektual Islam di Indonesia nampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayangnya, tidak mencapai perkembangan terjauhnya dalam wujud wacana-wacana intelektual, melainkan lebih dalam wujud perilaku-perilaku moral, thariqah, tasawwuf amaliyah. Dengan demikian, tasawwuf yang berkembang di Indonesia, bahkan sampai dewasa ini, termasuk di pesantren, adalah tasawwuf yang sudah kehilangan dimensi filosofisnya, tasawwuf yang sudah “mati”.
Kemudian, salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di Indonesia adalah ketika dilakukan intensifikasi pemikiran dan gerakan ortodoksi yang mungkin mencapai momentumnya – seperti terekam dalam catatan sejarah selama ini – pada akhir abad ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi itu sendiri – menurut beberapa pengamat – sebetulnya sudah dirumuskan pada abad ke-11 M ketika Al Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam “ultra tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bin Hanbal, dengan pemikiran “ultra rasionalis” yang menerima pengaruh pemikiran Hellenisme.
Sementara ortodoksi yang berkembang di Indonesia agaknya lebih cenderung ekpada ortodoksi yang berasal dari gerakan Wahabi, suatu gerakan “neo ultratradisionalis”, yang kurang (tidak) memberi tempat bagi filsafat, aql dalam pemikiran keagamaan. Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia pun adalah ortodoksi yang sudah dijinakkan sisi filosofisnya, ortodoksi yang “mati”. Dengan demikian, jelas pergulatan yang terjadi antara tassawuf dengan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar